Delapan Belas Tahun Perpisahan

sunset
Aku menunggunya di sebuah kafe di salah satu Mall di jantung kota Apel Malang hampir lewat sepuluh menit ketika akhirnya dia datang dengan senyum yang cerah.

Hari ini adalah hari terakhir di tahun ini. Tanggal 31 Desember 2015. Kalau ada sesuatu yang terjadi setelah pertemuan ini, aku akan dengan sangat mudah mengingat waktunya.

Bukan kebetulan kami akan bertemu hari ini. Aku yang mengaturnya demikian setelah cukup lama menimbang. Pertimbangan terakhir karena aku ingin melewati tahun depan dengan terbebas dari perasaan ini. Aku ingin selesai dengan diriku sendiri dan juga masa lalu itu.

Wajahnya masih seperti dulu, aku masih mengenalinya. Awalnya, aku sempat berpikir kalau mungkin saja dia sudah jauh berubah sehingga tidak kelihatan seperti dulu. Tapi dia tidak banyak berubah. Gaya berpakaiannya saja yang berubah. Lagi pula, siapa yang tidak berpakaian aneh belasan tahun yang lalu kalau dilihat dari cara berpakaian orang jaman sekarang?.

Dia memakai tas selempang yang disangkutkan di pundak kanannya. Terbuat dari bahan kulit berwarna coklat. Terlihat mahal dan elegan. Sejak dulu dia memang suka memakai tas selempang yang selalu dipakai dengan cara yang sama. Hanya saja, dulu tasnya tidak kelihatan mahal dan bagus seperti sekarang ini.

Aku berdiri dengan agak canggung. Berusaha menyambutnya dengan senyum yang ramah dan menyenangkan, seramah senyum yang dia lemparkan padaku.

"Sudah lama?," tanyanya.

Aku menggeleng sambil menunjuk bangku di depannya agar dia segera duduk. Tapi dia dengan sigap mengulurkan tangannya. Mau tidak mau, aku pun menyalaminya. Tangan itu pun masih terasa sama. Waktu hanya merubah kulitnya yang sekarang tampak lebih gelap.

Wajahnya masih seperti dulu, aku masih mengenalinya. Awalnya, aku sempat berpikir kalau mungkin saja dia sudah jauh berubah sehingga tidak kelihatan seperti dulu


Aku masih bisa merasakan sisa kenangan ketika tangan kami bersalaman untuk pertama kalinya. Ketika itu, kami masih di kelas satu SMP. Bersalaman dengan lawan jenis menjadi hal yang sangat mendebarkan. Apalagi kalau dia adalah orang yang sudah kamu lihat sepanjang hari dari kejauhan.

Ketika dia datang dan mengajakku berkenalan waktu itu, ingin rasanya aku lari dan sembunyi. Tapi aku menantang diriku sendiri dengan mengulurkan tangan dan menyebutkan namaku.

"Belum," jawabku.

Dia meletakkan tasnya di bangku kosong di sebelahnya. Lalu mengalihkan pandangan ke arahku. Sesaat hening. Aku bingung harus berkata apa sementara dia hanya diam sambil memandang ke arahku.

"18 tahun?. Atau 19 tahun?," tanyanya di sela senyumnya.

"Hampir 18 tahun kita nggak pernah ketemu," jawabku.

Ketika mengatakan itu, aku baru menyadari bahwa waktu berjalan begitu cepat. Seharusnya waktu mengubah banyak hal. Tapi dia masih saja terlihat seperti dulu. Ada bagian dari dirinya yang masih sama seperti dulu. Persis. Mungkin ada banyak juga yang berubah. Misalnya saja kebiasaannya itu bicara sambil tersenyum.

Dia tidak menyelesaikan senyumnya dan kemudian bicara dia bicara dengan bibir yang masih tersenyum. Aku pernah mencoba melakukan hal yang sama tapi tidak bisa. Itu sulit dan dia bisa dengan mudah melakukannya dengan sempurna. Kata-katanya jelas dan senyumnya pun tiada cela.

"Mau pesan apa?," tanyaku sambil menyodorkan daftar menu.

Dia menerimanya dan membukanya sebentar. Lalu memanggil seorang pelayan yang sedang membersihkan meja tidak jauh dari tempat kami duduk. Pelayan itu datang beberapa saat kemudian. Berdiri di samping meja kami dengan notes kecil dan pena, siap mencatat.

"Cappuccino satu. Bolu isi selai apple satu potong," katanya sambil menyerahkan buku menu itu ke pelayan tadi. "Kamu?."

Aku tergagap ketika dia mengalihkan pandangannya ke arahku sambil bertanya.

"Caffe Latte," jawabku singkat.

"Nggak mau mesan kue?," tanyanya lagi.

Aku terdiam. Bingung.

"Bolu isi selai apple-nya dua kalau begitu," katanya lagi ke arah pelayan tanpa menunggu lebih lama lagi.

12345
pen and bookCerpen ini adalah karya Khairul Azzam Elmaliky. Diterbitkan di Majalah Kartini, edisi 2405/july/2015. Azzam, demikian ia biasa dipanggil, adalah alumni Pondok Pesantren Karya Basmala Semarang, angkatan 2008. Lahir di Probolinggo, Jawa Timur, kini bermastautin di Pekanbaru, Riau. Sila berkenalan dengan karya-karya Azzam lainnyadisini

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar