Apa yang akan engkau lakukan jika hubungan kalian dengan istri atau suami tidak harmonis?.
Dan apa yang kalian rasakan jika kita hidup satu atap dan satu ranjang dengan pasangan yang tidak kita cintai?. Dan apa yang akan kalian lakukan untuk terlepas dari masalah ini?.
Ya, itulah yang sedang aku rasakan saat ini.
Kenalkan. Namaku Devid Abimana. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Dev. Dan aku penulis skenario film. Aku bisa bersikap romantis kepada semua perempuan dalam tiap dialog ceritaku. Tapi kepada istriku sendiri aku tidak mampu. Entah kenapa?. Aneh memang.
Terkadang penulis itu naif. Dia bisa menyampaikan sesuatu di dalam khayalannya, namun gagal menerapkannya di kehidupan nyata.
Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam biduk rumah tanggaku. Aku menikahi Desmita bukan lantaran ada segumpal cinta di dalam hatiku. Tak. Atau bukan karena ada rasa suka yang merojok-rojok relung hatiku. Juga tak. Bahkan sampai enam tahun ini belum juga timbul benih-benih cinta dari dalam hatiku.
Perjalanan kisah rumah tangga kami datar-datar saja. Tidur seranjangpun biasa-biasa saja. Seakan kami berdua dua makhluk asing yang tak saling kenal. Saat bercinta pun hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis atau pelengkap pernikahan saja. Tidak ada romantis-romantisan ketika kami berdua sedang berhubungan badan. Seusai itu, kami pun tidur saling memunggungi, tanpa berpelukan sebagaimana mestinya pasangan suami istri yang saling mencintai.
Berjalan pun kami sendiri-sendiri. Terkadang dia pergi ke mall bersama buah hati hati kami, Zizi. Gadis kecilku yang sangat aku cintai dan aku sayangi. Meskipun ia bukan hasil dari sebenar-benarnya buah cinta kami. Tapi aku sangatnmencintainya dan menyayanginya. Karena meski bagaimanapun dia adaah tetap anakku. Darah dagingku yang sah. Dan Desmita pun sangat bahagia dengan kehadirannya di dalam keluarga kami. Bahkan dia tiap pagi selalu mengantarkan Zizi ke sekolahnya.
Sementara aku sangat sibuk dengan pekerjaanku sebagai penulis skenario di salah satu production house terkenal di ibu kota. Sehingga aku tak punya waktu sedikitpun buat anakku. Aku ingin sekali bercanda dengannya. Tapi bagaimana lagi, kesibukan benar-benar menjeratku. Aku pulang dari tempat kerja ketika Zizi sudah tertidur pulas. Tapi sebagai seorang ayah aku mesti mencium keningnya. Ah, ketika kulihat wajahnya, seolah aku melihat bayanganku sendiri di cermin.
Desmita adalah temanku saat kami sama-sama masih menempuh SMA di kota Malang. Ketika saat masih masa-masa SMA kami berdua sangat jarang bertegur sapa maupun bertanya. Desmita maupun aku tergolong orang yang pendiam. Tak banyak nyerocos dan tak banyak ceriwis. Dan tak banyak tanya. Berbicara atau bertanya bila ada hal-hal penting yang tidak kami pahami saja.
Desmita sangat pandai di bidang Matematika dan Fisika. Sementara aku memang sejak dulu senang berimajinasi dan berkhayal. Tak jarang aku sering menulis cerpen. Tentang perempuan. Tapi bukan tentang Desmita. Aku hanyalah siswa teraneh di kelas bahkan di sekolah saat itu. Mana ada seekor semut dan seekor kelinci pakai jas, bisa berbicara pula layaknya manusia. Aneh bin tak masuk akal bukan?!.
Tapi aku sangat menikmati keanehanku. Sebab keanehan itu berasal dari Tuhan. Bakat alami dari Tuhan. Bukan dari aku sendiri. Aku sangat menyukai hal-hal yang aneh-aneh. Sebab dengan segala keanehan yang aku miliki, nyatanya kini aku menjadi seorang penulis skenario film-film box office yang selalu meledak di pasaran. Sehingga selain aku kerja di Yash Punjabi Pictures, bikin skenario bersama sutradara hebat sekaliber Mas Hanung, aku juga pernah diajak kerjasama oleh PH-PH yang lain. Dan narasi yang aku susun membuat mereka keranjingan. Sebab film produksi mereka bukan saja bisa balik modal, bahkan untung berlipat-lipat!.
Tapi banyaknya uang yang aku dapatkan, tidak mampu mengubah keadaan rumah tangga kami yang berada di ujung tanduk. Samasekali tidak ada kebahagiaan yang mengisi ruang keluarga kami. Hampa. Kosong. Macam tubuh manusia tanpa Ruh. Macam batok kelapa tiada airnya. Makin hari, makin berminggu, makin berbulan, aku makin muak kepada istriku sendiri. Oh, Tuhan... ada apa denganku?. Kenapa cinta itu belum muncul juga hingga saat ini?.
Sehabis lulus SMA , aku melanjutkan ke sebuah perguruan tinggi yang ada di kota Malang. Aku menempuh S1-ku di Unibraw. Aku sengaja mengambil jurusan sastra dan bahasa Indonesia. Tapi selama kuliah, hatiku selalu mengajakku untuk keluar dari kampus. Tangannku menggerakkan hatiku untuk menulis. Maka, sambil mendengarkan ocehan dosen atau asdos di kelas aku meluangkan waktuku untuk menulis sebuah cerpen. Isengiseng aku ingin mencoba memasukkan karyaku ke sebuah majalah yang ada di Jakarta.
Butuh dua bulan aku merampungkan tulisanku. Sebab aku ingin tak hanya menulis dengan membuang-buang waktu, menguras imajinasi, dan membuang-buang tenaga tapi hasilnya nihil alias ditolak. Aku targetkan kalau tulisanku diterima.Ya, sebagai pertanda kalau tulisanku berkualitas sebab majalah yang aku masuki bukan majalah biasa-biasa saja dan asal menerima tulisan sampah.
Selesai menulis, aku mencoba mengirimkan cerpenku. Ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Tidak secepat kayak cerita fiksi ilmiah Isra’ Mikraj Nabi Muhammad yang diumbar oleh ustadz-ustadz di masjid-masjid ketika Nabi naik seekor buraq ke langit tujuh. Butuh kesabaran konsistensi, dan ketidak penuh harapan.
Aku menunggu cerpenku terbit tak kurang dari dua bulan. Saat itu emailku berbunyi. Pagi sekitar pukul sepuluh, ada email masuk. Iseng-iseng dengan dada berdebar layaknya nak membaca selembar surat dari pacar, aku buka email itu. Ternyata dari redaksi majalah yang ada di Jakarta. Kubaca kata demi kata. Dan isinya bahwa tulisanku menarik. Sesuai dengan misi pasar mereka.
Ah, akhirnya tulisanku tembus juga. Tak menyangka!. Padahal aku tidak pernah berdoa ini dan itu kepada Tuhan. Aku tidak pernah berdoa agar tulisanku menembus media tersulit. Sebab sejak dulu ketika aku masih kecil, aku tak pernah meminta apapun kepada Tuhan sehabis shalat. Kata nenekku, meminta dan mengharap samasaja dengan mengemis pada Tuhan. Malu meminta dan mengharap apalagi kalau tak kenal dengan Tuhan. Kalau kenal dengan Tuhan, tak meminta dan mengharap pun pasti dikasih oleh Tuhan. Bahkan samasekali tidak kita sangka-sangka dan melebihi yang kita minta. Sungguh Tuhan Maha Pemurah, bukan?.
Aku masih meneruskan kuliah sembari mengirimkan cerpen-cerpenku ke berbagai surat kabar dan majalah. Dan setelah cerpen debut diterima, aku makin banyak menghasilkan karya hingga tugas-tugas kuliahku pun tercecer. Aku sudah terjerat dengan dunia tulis-menulis, dan aku berpikir bahwa meski aku dapat gelar sarjana, nantinya aku tetap saja paling menjadi guru dengan gaji yang sedikit dan tak terkenal pula, maka aku memutuskan untuk menjadi penulis freelance.
Karena aku sudah memiliki penghasilan dari honor menulis yang lumayan, dan itu tidak hanya dari satu media, dan aku sudah mempunyai tabungan sendiri, maka aku memberanikan diri untuk menikah. Saat itu aku memang terpesona dengan Desmita. Itu sebab dia gadis yang pendiam, tidak neko-neko, cantik, cerdas, meskipun berhati dingin. Ibuku setuju-setuju saja aku hendak menikahi Desmita. Tapi ibu sudah berpesan, menikah tanpa adanya cinta akan membawa bahtera rumah tanggamu kandas di tengah lautan luas. Kemudian karam dan tenggelam tiada bekas.
Tapi aku bersikukuh untuk tetap menikahi Desmita. Dan akhirnya pernikahan itu terjadi. Aku jelaskan tentang pekerjaanku pada ibunya Desmita bahwa aku penulis. Begitu juga pada Desmita. Dan mereka menerima. Ya, awalnya pernikahan kami layaknya pengantin baru. Apalagi diadakan pesta resepsi yang lumayan mewah. Saat perjalanan kapal rumah tangga kami mencapai setahun, Desmita pun hamil. Perasaanku saat itu campur aduk. Antara senang, aneh, dan tidak senang.
Aku senang karena sebentar lagi aku akan mempunyai seorang anak. Aneh, karena selama ini aku dan Desmita yang tidak pernah saling cinta membuahkan anak. Dan tidak senang karena kelak anakku tidak bisa merasakan kasih sayang yang utuh dari orantuanya yang tidak saling menyatu. Dan ternyata benar. Hal itu benar-benar terjadi. Kami berdua jalan sendiri-sendiri menuju tujuan masing-masing. Samasekali tidak pernah berjalan satu arah.
Aku sibuk dengan urusan kepenulisanku, sementara Desmita sibuk dengan karirnya di sebuah bank milik pemda DKI Jakarta. Tapi ia berangkat kerja sendiri dengan mobilnya. Sementara aku pergi kesana-kemari dengan sepeda motor matikku. Aku jarang sarapan di rumah. Hanya mengambil sepotong roti tawar yang diolesi selai nanas dan segelas susu, setelah itu aku bergegas berangkat. Karena aku musti merampungkan dan mengotak-atik naskah skenario sinetron kejar tayang yang memang memiliki tenggat waktu ketat.
Pagi terasa hangat. Burung-burung beterbangan di antara pepohonan sawit dan palem yang tumbuh di sekitar taman ruang hijau bekas perumahan kumuh Kalijodo. Dengan sikapnya yang tegas dan matang serta berani mengambil resiko, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih populer dengan nama panggilan Ahok, menyulap tempat maksiat tersebut menjadi tempat yang bermanfaat bagi masyarakat. Sesuatu yang tidak pernah mampu dilakukan oleh Gubernur-Gubernur DKI Jakarta sebelumnya yang note bene semuanya Muslim!.
Keberanian Ahok tersebut mengingatkanku kepada salah satu sikap tegas Nabi Muhammad Saw. yang pernah memerintahkan merobohkan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik, untuk kemudian dijadikan pasar. Ini dilakukan bukan tanpa sebuah perhitungan dan strategi yang matang. Dan tidak pula serta merta mengusir dengan jalan paksaan apalagi dengan kekerasan seperti yang dilakukan oleh Walikota dan Satpol PP Kota Berkuah, sebuah ibu kota provinsi nun jauh di pulau Sumatera sana. Kalau boleh Tuhan ngomong, "Hoi, yang ente usir itu Ruh-Ku, tahu!".
Tentu saja ada warga Kalijodo yang membandel alias tambeng. Banyak bacot dan banyak alasan yang tidak masuk akal demi mempertahankan eksistensi gerombolan pelaku kemaksiatannya. Maksudnya tentu karena tidak rela kehilangan "bisnis lendir" yang selama ini mereka nikmati. Suasana tambah runyam saat oknum-oknum parpol, yang dikenal memusuhi Ahok karena selama Ahok menjabat Gubernur, mereka tak bisa lagi membegal APBD DKI Jakarta, ikut-ikutan memeperkeruh suasana demi kepentingan busuknya. Plus jangan dilupakan peran Komnas HAM yang seperti orang linglung, tidak tahu mana yang harus dibela, mana yang tidak.
Ada lagi gerombolan daster putih yang bertingkah bak ibu-ibu yang hobi ngerasani dan ngerumpiin orang di belakang rumah mereka. Mereka tahunya suka mbacot dan mudah terbakar karena pikiran mereka yang bersumbu pendek. Disuap paket sembako oleh anak buah dajjal bersorban, mereka rela berdemo di depan balai kota DKI. Padahal sembakonya hanya berisi beras lima kilo, kecap sebotol, mie instans dua belas biji, dan minyak goreng sebungkus. Ah, mereka telah tertipu matang-matang oleh kambing berjanggut yang suka mengembik penuh birahi kalau ada kambing betina bohai lewat di depan mata mereka. Apalagi kalau kambing betinanya bermata sipit, berbulu putih mulus.
Tapi begitulah, macam pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Hanya sekelompok kecil yang mengaum. Setelah itu lenyap ditelan angin. Entah pergi kemana. Beda sangat dengan sang Gubernur DKI, bukannya aku memuji tapi ini fakta. Aku lebih menyukai style Pak Gubernur yang meniru style kepemimpinan dan akhlak Nabi Muhammad, ketimbang style kepemimpinan orang yang meski berjidat hitam tapi style yang dipakainya style dajjal yang memang ingin memarjinalkan manusia sesama Ruh Tuhan.
Urak-urakan dengan menyebut kebesaran nama Tuhan. Apakah menyerukan kebesaran nama Tuhan harus dengan cara urak-urakan?, dengan cara sembarangan?. Telinga manusia saja bosan dan pekak mendengarnya, apalagi telinga Tuhan?. Sungguh tak punya sopan santun terhadap Tuhan. Merekalah para penista agama yang sesungguhnya. Karena telah menistakan keagungan dan kebesaran nama Tuhan!.
Kalau ke masjid atau mushalla saja berlagak santun, dengan memakai jubah, sorban, kopiah putih dan janggut menjulai-julai, padahal itu semua hanyalah simbol-simbol. Sama sekali bukan identitas Muslim yang haqiqi. Memangnya kalau shalat pakai kemeja, peci hitam dan kain sarung lantas shalatnya tidak akan diterima Tuhan?. Bullshit!. Kata siapa?!. Tapi begitu di luar masjid berubah lagaknya menjadi samasekali tidak sopan kepada Tuhan. Meneriakkan kebesaran nama Tuhan seenak udelnya saja seperti memanggil nama teman di kedai kopi!.
Sukanya merusak tempat-tempat ibadah umat beragama lain. Bukankah gereja, pura, klenteng dan sinagog yang mereka rusak dan mereka bakar itu rumah Tuhan juga?. Tempat paling suci dimana manusia menaikkan doa kepada Tuhan?. Beribadah dan bersembah sujud kepada Tuhan?. Apakah hanya masjid dan mushalla saja yang rumah Tuhan?.
Kalau mereka mengklaim bahwa masjid rumah Tuhan dan tempat suci, maka gereja dan tempat ibadah lainnya juga rumah Tuhan, dong?. Sama-sama tempat suci yang harus dimuliakan. Belum pernah ada beritanya, tuh... ada orang kristen yang kencing di gereja atau orang hindu yang kencing di pura, atau orang konghucu yang kencing di klenteng. Kenapa?. Karena itu adalah tempat-tempat suci dan mulia mereka. Tempat menyembah Tuhan mereka. Telepas dari nama apa yang mereka sematkan untuk menyebut nama Tuhan.
Ah, dasar gerombolan kambing berjanggut. Seenak perutnya saja masuk tanpa permisi lalu menginjak-injak rumah Tuhan. Begitulah sifat manusia yang menjunjung tinggi sifat hewani. "Hayyawan". Bukan umat beragama lain yang Hayyawan. Yang punya bacot itu yang Hayyawan. Kambing berdaster putih.
Apa kita tidak akan tertawa bila melihat ada kambing berjanggut dan berdaster putih mengembik meneriak-neriakkan nama Tuhan?. Meneriak-neriakkan nama Rasul Saw?. Apalagi oleh pemimpin gerombolan kambing itu yang jidatnya menghitam. Yang katanya tanda orang alim?. Hahahahaha.... kemarin dulu juga ada mantan presiden parpol islam dan mantan hakim MK ditangkap KPK karena kasus suap, dan jidat mereka hitam, lho...
Oleh manusia yang men-Tuhankan rasio dan analogi yang selalu menggunakan logika sebagai dasar argumentasi, mereka dianggap sebagai kambing titisan seorang Nabi atau Tuhan. Bahkan sampai disembah-sembah. Sungguh manusia sekarang yang mengaku ber-Tuhan Allah, kini beralih sesembahan, yaitu Tuhan Kambing berjanggut dan bersorban.
Itulah sebabnya ketika Nabi Muhammad Saw. masih kecil beliau bekerja menggembala kambing, seperti hampir semua Nabi dan Rasul lakukan. Allah menyiapkan mental dan fisik beliau agar kelak saat diberi tugas menjadi Nabi, beliau telah siap untuk menggembalakan ummat. Ummat yang mirip kambing. Kambing berupa manusia yang sifatnya kayak binatang.
Dan apa yang kalian rasakan jika kita hidup satu atap dan satu ranjang dengan pasangan yang tidak kita cintai?. Dan apa yang akan kalian lakukan untuk terlepas dari masalah ini?.
Ya, itulah yang sedang aku rasakan saat ini.
Kenalkan. Namaku Devid Abimana. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Dev. Dan aku penulis skenario film. Aku bisa bersikap romantis kepada semua perempuan dalam tiap dialog ceritaku. Tapi kepada istriku sendiri aku tidak mampu. Entah kenapa?. Aneh memang.
Terkadang penulis itu naif. Dia bisa menyampaikan sesuatu di dalam khayalannya, namun gagal menerapkannya di kehidupan nyata.
Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam biduk rumah tanggaku. Aku menikahi Desmita bukan lantaran ada segumpal cinta di dalam hatiku. Tak. Atau bukan karena ada rasa suka yang merojok-rojok relung hatiku. Juga tak. Bahkan sampai enam tahun ini belum juga timbul benih-benih cinta dari dalam hatiku.
Perjalanan kisah rumah tangga kami datar-datar saja. Tidur seranjangpun biasa-biasa saja. Seakan kami berdua dua makhluk asing yang tak saling kenal. Saat bercinta pun hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis atau pelengkap pernikahan saja. Tidak ada romantis-romantisan ketika kami berdua sedang berhubungan badan. Seusai itu, kami pun tidur saling memunggungi, tanpa berpelukan sebagaimana mestinya pasangan suami istri yang saling mencintai.
Berjalan pun kami sendiri-sendiri. Terkadang dia pergi ke mall bersama buah hati hati kami, Zizi. Gadis kecilku yang sangat aku cintai dan aku sayangi. Meskipun ia bukan hasil dari sebenar-benarnya buah cinta kami. Tapi aku sangatnmencintainya dan menyayanginya. Karena meski bagaimanapun dia adaah tetap anakku. Darah dagingku yang sah. Dan Desmita pun sangat bahagia dengan kehadirannya di dalam keluarga kami. Bahkan dia tiap pagi selalu mengantarkan Zizi ke sekolahnya.
Sementara aku sangat sibuk dengan pekerjaanku sebagai penulis skenario di salah satu production house terkenal di ibu kota. Sehingga aku tak punya waktu sedikitpun buat anakku. Aku ingin sekali bercanda dengannya. Tapi bagaimana lagi, kesibukan benar-benar menjeratku. Aku pulang dari tempat kerja ketika Zizi sudah tertidur pulas. Tapi sebagai seorang ayah aku mesti mencium keningnya. Ah, ketika kulihat wajahnya, seolah aku melihat bayanganku sendiri di cermin.
Desmita adalah temanku saat kami sama-sama masih menempuh SMA di kota Malang. Ketika saat masih masa-masa SMA kami berdua sangat jarang bertegur sapa maupun bertanya. Desmita maupun aku tergolong orang yang pendiam. Tak banyak nyerocos dan tak banyak ceriwis. Dan tak banyak tanya. Berbicara atau bertanya bila ada hal-hal penting yang tidak kami pahami saja.
Desmita sangat pandai di bidang Matematika dan Fisika. Sementara aku memang sejak dulu senang berimajinasi dan berkhayal. Tak jarang aku sering menulis cerpen. Tentang perempuan. Tapi bukan tentang Desmita. Aku hanyalah siswa teraneh di kelas bahkan di sekolah saat itu. Mana ada seekor semut dan seekor kelinci pakai jas, bisa berbicara pula layaknya manusia. Aneh bin tak masuk akal bukan?!.
Tapi aku sangat menikmati keanehanku. Sebab keanehan itu berasal dari Tuhan. Bakat alami dari Tuhan. Bukan dari aku sendiri. Aku sangat menyukai hal-hal yang aneh-aneh. Sebab dengan segala keanehan yang aku miliki, nyatanya kini aku menjadi seorang penulis skenario film-film box office yang selalu meledak di pasaran. Sehingga selain aku kerja di Yash Punjabi Pictures, bikin skenario bersama sutradara hebat sekaliber Mas Hanung, aku juga pernah diajak kerjasama oleh PH-PH yang lain. Dan narasi yang aku susun membuat mereka keranjingan. Sebab film produksi mereka bukan saja bisa balik modal, bahkan untung berlipat-lipat!.
Tapi banyaknya uang yang aku dapatkan, tidak mampu mengubah keadaan rumah tangga kami yang berada di ujung tanduk. Samasekali tidak ada kebahagiaan yang mengisi ruang keluarga kami. Hampa. Kosong. Macam tubuh manusia tanpa Ruh. Macam batok kelapa tiada airnya. Makin hari, makin berminggu, makin berbulan, aku makin muak kepada istriku sendiri. Oh, Tuhan... ada apa denganku?. Kenapa cinta itu belum muncul juga hingga saat ini?.
Sehabis lulus SMA , aku melanjutkan ke sebuah perguruan tinggi yang ada di kota Malang. Aku menempuh S1-ku di Unibraw. Aku sengaja mengambil jurusan sastra dan bahasa Indonesia. Tapi selama kuliah, hatiku selalu mengajakku untuk keluar dari kampus. Tangannku menggerakkan hatiku untuk menulis. Maka, sambil mendengarkan ocehan dosen atau asdos di kelas aku meluangkan waktuku untuk menulis sebuah cerpen. Isengiseng aku ingin mencoba memasukkan karyaku ke sebuah majalah yang ada di Jakarta.
Butuh dua bulan aku merampungkan tulisanku. Sebab aku ingin tak hanya menulis dengan membuang-buang waktu, menguras imajinasi, dan membuang-buang tenaga tapi hasilnya nihil alias ditolak. Aku targetkan kalau tulisanku diterima.Ya, sebagai pertanda kalau tulisanku berkualitas sebab majalah yang aku masuki bukan majalah biasa-biasa saja dan asal menerima tulisan sampah.
Selesai menulis, aku mencoba mengirimkan cerpenku. Ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Tidak secepat kayak cerita fiksi ilmiah Isra’ Mikraj Nabi Muhammad yang diumbar oleh ustadz-ustadz di masjid-masjid ketika Nabi naik seekor buraq ke langit tujuh. Butuh kesabaran konsistensi, dan ketidak penuh harapan.
Aku menunggu cerpenku terbit tak kurang dari dua bulan. Saat itu emailku berbunyi. Pagi sekitar pukul sepuluh, ada email masuk. Iseng-iseng dengan dada berdebar layaknya nak membaca selembar surat dari pacar, aku buka email itu. Ternyata dari redaksi majalah yang ada di Jakarta. Kubaca kata demi kata. Dan isinya bahwa tulisanku menarik. Sesuai dengan misi pasar mereka.
Ah, akhirnya tulisanku tembus juga. Tak menyangka!. Padahal aku tidak pernah berdoa ini dan itu kepada Tuhan. Aku tidak pernah berdoa agar tulisanku menembus media tersulit. Sebab sejak dulu ketika aku masih kecil, aku tak pernah meminta apapun kepada Tuhan sehabis shalat. Kata nenekku, meminta dan mengharap samasaja dengan mengemis pada Tuhan. Malu meminta dan mengharap apalagi kalau tak kenal dengan Tuhan. Kalau kenal dengan Tuhan, tak meminta dan mengharap pun pasti dikasih oleh Tuhan. Bahkan samasekali tidak kita sangka-sangka dan melebihi yang kita minta. Sungguh Tuhan Maha Pemurah, bukan?.
Aku masih meneruskan kuliah sembari mengirimkan cerpen-cerpenku ke berbagai surat kabar dan majalah. Dan setelah cerpen debut diterima, aku makin banyak menghasilkan karya hingga tugas-tugas kuliahku pun tercecer. Aku sudah terjerat dengan dunia tulis-menulis, dan aku berpikir bahwa meski aku dapat gelar sarjana, nantinya aku tetap saja paling menjadi guru dengan gaji yang sedikit dan tak terkenal pula, maka aku memutuskan untuk menjadi penulis freelance.
Karena aku sudah memiliki penghasilan dari honor menulis yang lumayan, dan itu tidak hanya dari satu media, dan aku sudah mempunyai tabungan sendiri, maka aku memberanikan diri untuk menikah. Saat itu aku memang terpesona dengan Desmita. Itu sebab dia gadis yang pendiam, tidak neko-neko, cantik, cerdas, meskipun berhati dingin. Ibuku setuju-setuju saja aku hendak menikahi Desmita. Tapi ibu sudah berpesan, menikah tanpa adanya cinta akan membawa bahtera rumah tanggamu kandas di tengah lautan luas. Kemudian karam dan tenggelam tiada bekas.
Tapi aku bersikukuh untuk tetap menikahi Desmita. Dan akhirnya pernikahan itu terjadi. Aku jelaskan tentang pekerjaanku pada ibunya Desmita bahwa aku penulis. Begitu juga pada Desmita. Dan mereka menerima. Ya, awalnya pernikahan kami layaknya pengantin baru. Apalagi diadakan pesta resepsi yang lumayan mewah. Saat perjalanan kapal rumah tangga kami mencapai setahun, Desmita pun hamil. Perasaanku saat itu campur aduk. Antara senang, aneh, dan tidak senang.
Aku senang karena sebentar lagi aku akan mempunyai seorang anak. Aneh, karena selama ini aku dan Desmita yang tidak pernah saling cinta membuahkan anak. Dan tidak senang karena kelak anakku tidak bisa merasakan kasih sayang yang utuh dari orantuanya yang tidak saling menyatu. Dan ternyata benar. Hal itu benar-benar terjadi. Kami berdua jalan sendiri-sendiri menuju tujuan masing-masing. Samasekali tidak pernah berjalan satu arah.
Aku sibuk dengan urusan kepenulisanku, sementara Desmita sibuk dengan karirnya di sebuah bank milik pemda DKI Jakarta. Tapi ia berangkat kerja sendiri dengan mobilnya. Sementara aku pergi kesana-kemari dengan sepeda motor matikku. Aku jarang sarapan di rumah. Hanya mengambil sepotong roti tawar yang diolesi selai nanas dan segelas susu, setelah itu aku bergegas berangkat. Karena aku musti merampungkan dan mengotak-atik naskah skenario sinetron kejar tayang yang memang memiliki tenggat waktu ketat.
***
Pagi terasa hangat. Burung-burung beterbangan di antara pepohonan sawit dan palem yang tumbuh di sekitar taman ruang hijau bekas perumahan kumuh Kalijodo. Dengan sikapnya yang tegas dan matang serta berani mengambil resiko, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih populer dengan nama panggilan Ahok, menyulap tempat maksiat tersebut menjadi tempat yang bermanfaat bagi masyarakat. Sesuatu yang tidak pernah mampu dilakukan oleh Gubernur-Gubernur DKI Jakarta sebelumnya yang note bene semuanya Muslim!.
Keberanian Ahok tersebut mengingatkanku kepada salah satu sikap tegas Nabi Muhammad Saw. yang pernah memerintahkan merobohkan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik, untuk kemudian dijadikan pasar. Ini dilakukan bukan tanpa sebuah perhitungan dan strategi yang matang. Dan tidak pula serta merta mengusir dengan jalan paksaan apalagi dengan kekerasan seperti yang dilakukan oleh Walikota dan Satpol PP Kota Berkuah, sebuah ibu kota provinsi nun jauh di pulau Sumatera sana. Kalau boleh Tuhan ngomong, "Hoi, yang ente usir itu Ruh-Ku, tahu!".
Tentu saja ada warga Kalijodo yang membandel alias tambeng. Banyak bacot dan banyak alasan yang tidak masuk akal demi mempertahankan eksistensi gerombolan pelaku kemaksiatannya. Maksudnya tentu karena tidak rela kehilangan "bisnis lendir" yang selama ini mereka nikmati. Suasana tambah runyam saat oknum-oknum parpol, yang dikenal memusuhi Ahok karena selama Ahok menjabat Gubernur, mereka tak bisa lagi membegal APBD DKI Jakarta, ikut-ikutan memeperkeruh suasana demi kepentingan busuknya. Plus jangan dilupakan peran Komnas HAM yang seperti orang linglung, tidak tahu mana yang harus dibela, mana yang tidak.
Ada lagi gerombolan daster putih yang bertingkah bak ibu-ibu yang hobi ngerasani dan ngerumpiin orang di belakang rumah mereka. Mereka tahunya suka mbacot dan mudah terbakar karena pikiran mereka yang bersumbu pendek. Disuap paket sembako oleh anak buah dajjal bersorban, mereka rela berdemo di depan balai kota DKI. Padahal sembakonya hanya berisi beras lima kilo, kecap sebotol, mie instans dua belas biji, dan minyak goreng sebungkus. Ah, mereka telah tertipu matang-matang oleh kambing berjanggut yang suka mengembik penuh birahi kalau ada kambing betina bohai lewat di depan mata mereka. Apalagi kalau kambing betinanya bermata sipit, berbulu putih mulus.
Tapi begitulah, macam pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Hanya sekelompok kecil yang mengaum. Setelah itu lenyap ditelan angin. Entah pergi kemana. Beda sangat dengan sang Gubernur DKI, bukannya aku memuji tapi ini fakta. Aku lebih menyukai style Pak Gubernur yang meniru style kepemimpinan dan akhlak Nabi Muhammad, ketimbang style kepemimpinan orang yang meski berjidat hitam tapi style yang dipakainya style dajjal yang memang ingin memarjinalkan manusia sesama Ruh Tuhan.
Urak-urakan dengan menyebut kebesaran nama Tuhan. Apakah menyerukan kebesaran nama Tuhan harus dengan cara urak-urakan?, dengan cara sembarangan?. Telinga manusia saja bosan dan pekak mendengarnya, apalagi telinga Tuhan?. Sungguh tak punya sopan santun terhadap Tuhan. Merekalah para penista agama yang sesungguhnya. Karena telah menistakan keagungan dan kebesaran nama Tuhan!.
Kalau ke masjid atau mushalla saja berlagak santun, dengan memakai jubah, sorban, kopiah putih dan janggut menjulai-julai, padahal itu semua hanyalah simbol-simbol. Sama sekali bukan identitas Muslim yang haqiqi. Memangnya kalau shalat pakai kemeja, peci hitam dan kain sarung lantas shalatnya tidak akan diterima Tuhan?. Bullshit!. Kata siapa?!. Tapi begitu di luar masjid berubah lagaknya menjadi samasekali tidak sopan kepada Tuhan. Meneriakkan kebesaran nama Tuhan seenak udelnya saja seperti memanggil nama teman di kedai kopi!.
Sukanya merusak tempat-tempat ibadah umat beragama lain. Bukankah gereja, pura, klenteng dan sinagog yang mereka rusak dan mereka bakar itu rumah Tuhan juga?. Tempat paling suci dimana manusia menaikkan doa kepada Tuhan?. Beribadah dan bersembah sujud kepada Tuhan?. Apakah hanya masjid dan mushalla saja yang rumah Tuhan?.
Kalau mereka mengklaim bahwa masjid rumah Tuhan dan tempat suci, maka gereja dan tempat ibadah lainnya juga rumah Tuhan, dong?. Sama-sama tempat suci yang harus dimuliakan. Belum pernah ada beritanya, tuh... ada orang kristen yang kencing di gereja atau orang hindu yang kencing di pura, atau orang konghucu yang kencing di klenteng. Kenapa?. Karena itu adalah tempat-tempat suci dan mulia mereka. Tempat menyembah Tuhan mereka. Telepas dari nama apa yang mereka sematkan untuk menyebut nama Tuhan.
Ah, dasar gerombolan kambing berjanggut. Seenak perutnya saja masuk tanpa permisi lalu menginjak-injak rumah Tuhan. Begitulah sifat manusia yang menjunjung tinggi sifat hewani. "Hayyawan". Bukan umat beragama lain yang Hayyawan. Yang punya bacot itu yang Hayyawan. Kambing berdaster putih.
Apa kita tidak akan tertawa bila melihat ada kambing berjanggut dan berdaster putih mengembik meneriak-neriakkan nama Tuhan?. Meneriak-neriakkan nama Rasul Saw?. Apalagi oleh pemimpin gerombolan kambing itu yang jidatnya menghitam. Yang katanya tanda orang alim?. Hahahahaha.... kemarin dulu juga ada mantan presiden parpol islam dan mantan hakim MK ditangkap KPK karena kasus suap, dan jidat mereka hitam, lho...
Oleh manusia yang men-Tuhankan rasio dan analogi yang selalu menggunakan logika sebagai dasar argumentasi, mereka dianggap sebagai kambing titisan seorang Nabi atau Tuhan. Bahkan sampai disembah-sembah. Sungguh manusia sekarang yang mengaku ber-Tuhan Allah, kini beralih sesembahan, yaitu Tuhan Kambing berjanggut dan bersorban.
Itulah sebabnya ketika Nabi Muhammad Saw. masih kecil beliau bekerja menggembala kambing, seperti hampir semua Nabi dan Rasul lakukan. Allah menyiapkan mental dan fisik beliau agar kelak saat diberi tugas menjadi Nabi, beliau telah siap untuk menggembalakan ummat. Ummat yang mirip kambing. Kambing berupa manusia yang sifatnya kayak binatang.
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)