Hidup itu bagaikan obat nyamuk. Yang terbakar terlebih dulu ujungnya, terus membakar hingga ke dalam dan akhirnya bagian tengah.
Sama saja halnya dengan fitnah. Mulanya dari luar, kemudian merambat melalui keluarga dalam dan akhirnya membakar diri sendiri. Terbakar. Tapi kalau sudah memahami hakikat hidup, maka api bukan dari luar melainkan dari tengah. Mulai dari diri, keluarga, hingga sekitarnya. Seperti nyala lentera lilin dalam ruangan gelap. Terang.
Pagi terasa begitu hangat. Sinar metahari menyepuh pepucuk dedaunan dan pohon jambu keling,mangga, dan anggur yang berrdiri di halaman rumah. Bunga mawar tersenyum riang menyambut sang mentari. Sementara bunga melati yang diam-diam menarik perhatian menari-nari dengan genitnya. Angin bersiul pelan, memainkan dedaunan pohon murbei yang kering berserakan di tanah. Tampak dua kuving belang mengejar-ngejar daun,berusaha menangkapnya namun mereka seakan dibohongu dan diejek oleh daun-daun itu.
Pada saat itu pula sepasang kupu-kupu berjingkat-jingkat di atas bunga mawar merah. Mereka tampak begitu romantis. Suasana benar-benar merasa nyaman, damai, dan sejuk. Begitulah suasana yang dirasakan di desa. Berbeda dengan suasana yang ada di kota. Seperti Pekanbaru yang sekarang sedang kepanasan. Gerah karena suhu pemanasan global, kebakaran hutan dan lahan yang menjadi acara musiman, dan pemilihan calon walikota yang saling jatuh-menjatuhkan untuk mendapatkan takhta kursi kepemimpinan.
Udara di sini juga begitu bersih.Air sungai bening hingga tak jarang anak-anak mandi dan ibu-ibu mencuci pakaian di situ. Dan alas berupa hutan pinus masih perawan. Sawah dan ladang bertingkat-tingkat seperti anak tangga menuju petala langit. Jadi jangan harap di sini menemukan polusi. Di kota?. Ah. Di setiap sudut kota mall-mall berdiri di atas tanah bekas sebuah hutan atau rumah-rumah kuno bersejarah. Hotel-hotel, apartemen, homestay, perumahan elit, dan ruko-ruko berdiri di atas sawah yang dijual oleh petani kepada para developer karena harga gabah kering terjun bebas dan pupuk melambung naik.
Pabrik-pabrik modern menjamur di bantaran kali sehingga limbahnya menodai air dan mencemari lingkungan di sekitarnya. Ikan-ikan banyak yang mati sehingga dampaknya merugikan petani ikan sungai. Masyarakat kota juga gengsi memakai sepeda onthel. Mereka lebih suka naik sepeda motor dan mobil agar tidak disebut kampungan. Ndeso. Akibatnya jalanan menjadi macet. Kentut yang keluar dari bokong kendaraan bermotor juga meracuni kehidupan. Lapisan ozon yang selama ini melindungi manusia dan makhluk hidup yang menghuni planet bumi makin tipis karena efek rumah kaca sehingga menyebabkan pemanasan global.
Pabrikan motor Jepang makin rajin mengirimkan produksi mereka ke Indonesia. Padahal besi, timah, dan plastik semuanya berasal di impor dari Indonesia. Kemudian barang jadinya dibuang hampir sembilan puluh persen kemari. Sudah 71 tahun negara ini terbebas dari penjajahan, kebodohan, dan kemiskinan!. Tapi sampai detik ini masih belum mampu memproduksi motor dan mobil dari bahan-bahan mentah yang terkubur di lahannya sendiri.
Orang kota memang ingin serba cepat. Bukan urusan kerja saja. Urusan akhiratpun harus cepat. Shalat cepat tanpa tuma’ninah sehingga bermunculan para penda’i yang entah dari mana asalnya memenuhi lembaga dakwah. Kalau dulu mengirim surat atau memo via kantor pos yang ribet. Tapi sekarang mengirim surat bisa via sms, email, What’sApp, telegram, facebook dan twitter. Serba mudah dan canggih. Namun secanggih-canggihnya otak manusia dalam membuat teknologi, masih ada kekurangannya. Masih ada batasannya. Sehingga timbul suatu ketidakpuasan. Akhirnya, tiap tahun bermunculan alat-alat komunikasi seperti ponsel android, laptop dan Ipad yang semakin hari semakin dilengkapi dengan kecanggihan.
Namun meski begitu tetaplah tidak sempurna. Kesempurnaan akan diraih bila manusia memahami hakikat manusia itu sendiri. Kesempurnaan akan mengenal diri bahwa diri ini sangatlah kecil seperti titik yang mengikuti arus zaman yang bergerak cepat,dan mengenal Tuhan bahwa tidak ada yang lebih luas ilmunya kecuali ilmunya Tuhan. Jadi dengan alat komunikasi yang lebih canggih itu mereka tidak perlu menunggu surat sampai dalam jangka waktu tiga hari namun satu detik. Dunia seolah seperti dilipat. Dulu kalau mengetiknaskah memakai mesin tik, sekarang sangat mudah dengan menggunakan laptop yang bisa dibawa kemana-mana.
Aku yang biasa dipanggil Toha oleh orang-orang di sekitar rumahku. Aku tetap enjoy dan istiqamah mengetik naskah dengan menggunakan mesin tik tua peninggalan sekaligus kado dari ibu saat aku lolos ujian masuk kampus di Jogja dulu. Mesin tua itu pula yang menemani hariku menulis skripsi saat kuliah. Dan sampai saat ini aku masih menggunakannya untuk mengetik naskah-naskah cerpen yang kukirim ke surat kabar yang berada di Jakarta dan majalah sastra yang melambungkan namaku. Tapi meski aku dikenal sebagai cerpenis, aku tetaplah Toha, pemuda kampung yang bodoh. Itu hanyalah pekerjaanku untuk memperoleh uang.
Entah betapa aku sangat sayang pada mesin tik tua itu, serasa istri pertama. Padahal anak-anakku telah menyuruh untuk menjualnya saja pada pedagang di pasar loak. Lalu mereka membelikan sebuah laptop yang tipis dan bermerk untukku. Tapi aku tidak mau menjualnya. Sebab mesin tik tua itu menyimpan kenangan yang mendalam bagiku. Mesin tik tua itu saksi sejarahku. Mesin tik tua itu pemberian ibu di saat-saat susah dulu. Sebab beliau harus membanting tulang dengan menjual kain batik milik juragannya yang uangnya dikumpulkan untuk dibelikan mesin tik itu.
Dan mesin tik itu pula yang merubah hidupku hingga aku bukan lagi Toha yang dulu, namun aku Toha yang tulisannya mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak menyentuh rakyat, memengaruhi cara berpikir mahasiswa, menjadi bahan riset untuk skripsi, tesis dan disertasi, dan menggaung hingga ke negeri yang bernama Eropa dan Amerika laksana auman seekor macan Asia.
Serta mesin tik tua itu pula aku, Toha meraih hadiah sastra di bidang kesusastraan dan bisa berkeliling dunia. Dan dengan mesin tik tua itu aku bisa menaklukkan hati seorang perempuan yang aku cintai dengan sebuah tulisan yang melambungkan hatinya ke angkasa. Ah kalau bukan karena jasa ibuku maka mesin tik tua itu, tulisan, dan hadiah sastra itu mustahil kudapatkan. Tetapi kalian tidak tahu sejarah hidupku yang penuh liku. Dan kalian berpikir aku langsung menjadi orang tanpa harus memakan asam-garam kehidupan. Tidak. Baiklah, dengarkan baik-baik ceritaku.
"Grooookk!!!". Perutku keroncongan. "Grooookk!!!. Grooookk!!!". Cacing-cacing di dalam perut melakukan aksi demo menuntut makan, bak aksi mahasiswa yang lagi mendemo Habib Brizik bim Salabim agar membubarkan ormasnya yang kelewatan anarkis, hipokrit dan diskriminatif. Sebab sudah tiga hari ini perutku belum kuisi dengan sebutir nasipun. Lebih baik aku yang kelaparan daripada istri dan anak-anakku. Sebagai seorang kepala rumah tangga aku lebih banyak mengalah. Sebab aku bisa menahan rasa lapar.
Tapi aku tidak tahan bila melihat keluargaku yang kelaparan. Aku tidak tahan bila anak-anakku merengek karena lapar. Dan aku tidak ingin istriku mengomel karena tidak ada beras yang akan ditanak. Bagaimana aku bisa memberinya uang sementara honor tulisanku dari koran belum dicairkan, dan uang royalti dari penerbit masih menunggu dua minggu lagi. Padahal sudah sebulan lalu aku menandatangani surat kontrak pencetakan bukuku yang pertama kali terbit.
Selain prosedur pencairan royalti yang berbelit-belit, monoton, dan bertele-tele layaknya sebuah telenovela, penerbit juga meminta tema naskah yang aneh-aneh. Bahasanya juga diminta yang aneh. Bahasa Melayu tidak lagi diminati hingga lenyap seperti asap rokok yang ditelan hembusan angin.
Novel sekarang bahasanya aneh-aneh dan banyak meniru bahasa orang-orang Jakarta. Bahasa Inggris, dan bahasa asing yang dicampur asuk dengan bahasa Indonesia. Tema humanisme dan religiuisme sudah tidak menarik para pembaca muda. Mereka lebih suka kepada tema-tema sains, teknologi. Sungguh ini merupakan tema yang samasekali bukan masaku untuk ukuran zaman kini. Nah, sementara aku lebih memilih tema perjuangan hidup dan sosial masyarakat di desa.
Berkali-kali aku mengirimkan naskahku pada penerbit bertemakan politik dan sosial, ditolak!. Sebab naskahku tidak memenuhi standard pasar. Aku mulai merasa bahwa penerbit dan penulis bukan menghasilkan karya untuk pengembangan dan pembaharuan sastra. Tapi mereka lebih memikirkan bisnis. Keuntungan.
Ada segelintir penulis seangkatan denganku yang kini masih eksis menulis. Mereka menulis naskah baik itu cerpen atau puisi atau novel yang bahasanya begitu sastrawi. Namun ketika dikirim ke penerbit, ternyata novel mereka ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan selera pasar. Ada pula novel-novel lama karangan sastrawan zaman keemasan dulu yang diterbitkan, namun buku-buku mereka hanya menjadi pelengkap penderita disamping novel-novel karangan novelis masa kini.
Untuk menyiasati hal itu dan agar novelnya dapat diterbitkan, maka mau tidak mau mereka harus merangkap menjadi penulis, penerbit, pemodal, dan penjual seperti yang dilakukan oleh teman-teman di Palembang dan Batam. Mereka betul-betul sastrawan sejati yang tahan banting. Mereka rela menggelontorkan uang pribadi demi melestarikan karya-karya sastra berbahasa Melayu agar tidak hilang tertelan di bumi sendiri.
Sungguh miris memang jika kita tahu nasib para penulis di negeri ini. Dan meskipun begitu, mereka masih aktif menghasilkan sebuah karya berbeda denganku. Meskipub novelku ada yang akan diterbitkan oleh salah satu penerbit yang paling berani mencetak novel-novel genre jadul seperti novelku, mereka hanya bersedia membayar 10 % dari hasil penjualan buku. Bila bukuku seharga Rp. 40.000,- dan dicetak empat ribu eksemplar, maka setelah dipotong ini-itu, maka aku hanya mendapatkan royalti 16 juta rupiah. Dan itupun tidak dibayar langsung melainkan dicicil seperti membayar kredit sepeda motor. Aku hanya mendapat 2 juta dimuka. Sisanya dibayar kemudian.
Mungkin bagi yang tidak mempunyai kepandaian menulis, mereka menganggapku sudah enak. Bah. Kata siapa?. Bila tidak punya istri dan anak rewel tidaklah mengapa. Tapi, apakah aku tega membiarkan istri dan anakku terus mendapat subsidi dari mertuaku?. Apakah aku akan diam saja dan ikut menikmati makanan yang diberi oleh mertuaku?. Tentu saja tidak. Mau disurukkan kemana mukaku?. Samasaja halnya aku tidak punya rasa malu. Lha wong aku menikahi putri mereka dulu bukan untuk disengsarakan seperti ini. tapi komitmenku adalah membahagiakan dan mencukupi nafkah untuknya.
Istriku sejak dulu mengatakan kepadaku akan menerima dan mendukung pekerjaanku. Dia berjanji akan selalu di belakang dan menktritisi apa yang aku tulis. Termasuk nafkah yang diterimanya dariku. Ia tidak memandang nominalnya. Duh, luruh hatiku ketika mendengar ucapannya saat itu. Ia selalu membelaku bila ayah dan ibunya mencelaku. Kata mertuaku aku telah membuang-buang waktu dan menghambur-hamburkan kertas untuk sebuah pekerjaan yang tidak ada hasilnya. Bahkan ia menyindir membanding-bandingkanku dengan anak bungsunya yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor dinas di kabupaten.
"Akhirnya usaha Bapak tidak sia-sia dalam menyekolahkan Arif hingga ke Perguruan Tinggi," katanya pada istriku. Istriku merupakan anak pertama. Adiknya yang nomor dua kini bekerja di pabrik stainless stell di Klaten. "Kalau dulu kamu tidak keburu nikah sama si Toha, mungkin kini kamu sudah jadi PNS juga."
Bagi mertuaku dan mungkin kebanyakan orang, PNS merupakan sebuah pekerjaan yang paling tinggi dan terhormat. Dihargai orang karena berpakaian dinas, memakai sepatu kulit, dan memakai sepeda motor plat merah. Bila dibanding aku, gaji tak jelas, dan pekerjaan tak kasat mata. Hanya orang-orang yang sepaham saja yang tahu. Dan menurut mereka berkhayal dan berpuisi merupakan kegilaan yang jaya.
Entah ia a tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa pekerjaan PNS itu berarti menjadi kacungnya pemerintah. Sampai kapanpun bila punya motornya, motor pemerintah. Punya rumah. rumah pemerintah. Hidup diatur-atur pemerintah. Rezeki diatur pemerintah. Kalau mau dapat lebih, harus berani korupsi. Berani manipulasi. Berani terima suap. Berani masuk penjara kalau ketahuan. Bahkan harus berani masuk neraka kalau sudah mati!.
Jabatan tidak naik begitu saja, harus menunggu promosi dari atasan. Kalau tidak, ya... begitu-begitu saja selama puluhan tahun jadi PNS. Akibatnya, mau membeli apapun harus mengutang. Ini fakta!. Buktinya, Arif, yang selalu dibangga-banggakan oleh mertuaku itupun pernah mengutang pada istriku saat royalti bukuku turun.
Ia bilang ingin membayar tagihan kredit laptopnya. Dan kebetulan gajinya tidak turun selama hampir tiga bulan karena uangnya ditahan oleh pemerintah propinsi, akibat adanya sengkarut dalam proses pembahasan APBD dengan anggota dewan. Ia merengek-rengek pada istriku agar dipinjami uang. Padahal istriku akan memakainya untuk melunasi uang SPP dan biaya semester kedua anakku yang mau naik kelas. Dan sisanya untuk membeli beras. Untunglah, saat itu aku dapat tambahan pemasukan lain dari uang honor cerpen dari koran mingguan dan majalah sastra. Sehingga bisa menolong adi iparku itu.
Sama saja halnya dengan fitnah. Mulanya dari luar, kemudian merambat melalui keluarga dalam dan akhirnya membakar diri sendiri. Terbakar. Tapi kalau sudah memahami hakikat hidup, maka api bukan dari luar melainkan dari tengah. Mulai dari diri, keluarga, hingga sekitarnya. Seperti nyala lentera lilin dalam ruangan gelap. Terang.
Pagi terasa begitu hangat. Sinar metahari menyepuh pepucuk dedaunan dan pohon jambu keling,mangga, dan anggur yang berrdiri di halaman rumah. Bunga mawar tersenyum riang menyambut sang mentari. Sementara bunga melati yang diam-diam menarik perhatian menari-nari dengan genitnya. Angin bersiul pelan, memainkan dedaunan pohon murbei yang kering berserakan di tanah. Tampak dua kuving belang mengejar-ngejar daun,berusaha menangkapnya namun mereka seakan dibohongu dan diejek oleh daun-daun itu.
Pada saat itu pula sepasang kupu-kupu berjingkat-jingkat di atas bunga mawar merah. Mereka tampak begitu romantis. Suasana benar-benar merasa nyaman, damai, dan sejuk. Begitulah suasana yang dirasakan di desa. Berbeda dengan suasana yang ada di kota. Seperti Pekanbaru yang sekarang sedang kepanasan. Gerah karena suhu pemanasan global, kebakaran hutan dan lahan yang menjadi acara musiman, dan pemilihan calon walikota yang saling jatuh-menjatuhkan untuk mendapatkan takhta kursi kepemimpinan.
Udara di sini juga begitu bersih.Air sungai bening hingga tak jarang anak-anak mandi dan ibu-ibu mencuci pakaian di situ. Dan alas berupa hutan pinus masih perawan. Sawah dan ladang bertingkat-tingkat seperti anak tangga menuju petala langit. Jadi jangan harap di sini menemukan polusi. Di kota?. Ah. Di setiap sudut kota mall-mall berdiri di atas tanah bekas sebuah hutan atau rumah-rumah kuno bersejarah. Hotel-hotel, apartemen, homestay, perumahan elit, dan ruko-ruko berdiri di atas sawah yang dijual oleh petani kepada para developer karena harga gabah kering terjun bebas dan pupuk melambung naik.
Pabrik-pabrik modern menjamur di bantaran kali sehingga limbahnya menodai air dan mencemari lingkungan di sekitarnya. Ikan-ikan banyak yang mati sehingga dampaknya merugikan petani ikan sungai. Masyarakat kota juga gengsi memakai sepeda onthel. Mereka lebih suka naik sepeda motor dan mobil agar tidak disebut kampungan. Ndeso. Akibatnya jalanan menjadi macet. Kentut yang keluar dari bokong kendaraan bermotor juga meracuni kehidupan. Lapisan ozon yang selama ini melindungi manusia dan makhluk hidup yang menghuni planet bumi makin tipis karena efek rumah kaca sehingga menyebabkan pemanasan global.
Pabrikan motor Jepang makin rajin mengirimkan produksi mereka ke Indonesia. Padahal besi, timah, dan plastik semuanya berasal di impor dari Indonesia. Kemudian barang jadinya dibuang hampir sembilan puluh persen kemari. Sudah 71 tahun negara ini terbebas dari penjajahan, kebodohan, dan kemiskinan!. Tapi sampai detik ini masih belum mampu memproduksi motor dan mobil dari bahan-bahan mentah yang terkubur di lahannya sendiri.
Orang kota memang ingin serba cepat. Bukan urusan kerja saja. Urusan akhiratpun harus cepat. Shalat cepat tanpa tuma’ninah sehingga bermunculan para penda’i yang entah dari mana asalnya memenuhi lembaga dakwah. Kalau dulu mengirim surat atau memo via kantor pos yang ribet. Tapi sekarang mengirim surat bisa via sms, email, What’sApp, telegram, facebook dan twitter. Serba mudah dan canggih. Namun secanggih-canggihnya otak manusia dalam membuat teknologi, masih ada kekurangannya. Masih ada batasannya. Sehingga timbul suatu ketidakpuasan. Akhirnya, tiap tahun bermunculan alat-alat komunikasi seperti ponsel android, laptop dan Ipad yang semakin hari semakin dilengkapi dengan kecanggihan.
Namun meski begitu tetaplah tidak sempurna. Kesempurnaan akan diraih bila manusia memahami hakikat manusia itu sendiri. Kesempurnaan akan mengenal diri bahwa diri ini sangatlah kecil seperti titik yang mengikuti arus zaman yang bergerak cepat,dan mengenal Tuhan bahwa tidak ada yang lebih luas ilmunya kecuali ilmunya Tuhan. Jadi dengan alat komunikasi yang lebih canggih itu mereka tidak perlu menunggu surat sampai dalam jangka waktu tiga hari namun satu detik. Dunia seolah seperti dilipat. Dulu kalau mengetiknaskah memakai mesin tik, sekarang sangat mudah dengan menggunakan laptop yang bisa dibawa kemana-mana.
Aku yang biasa dipanggil Toha oleh orang-orang di sekitar rumahku. Aku tetap enjoy dan istiqamah mengetik naskah dengan menggunakan mesin tik tua peninggalan sekaligus kado dari ibu saat aku lolos ujian masuk kampus di Jogja dulu. Mesin tua itu pula yang menemani hariku menulis skripsi saat kuliah. Dan sampai saat ini aku masih menggunakannya untuk mengetik naskah-naskah cerpen yang kukirim ke surat kabar yang berada di Jakarta dan majalah sastra yang melambungkan namaku. Tapi meski aku dikenal sebagai cerpenis, aku tetaplah Toha, pemuda kampung yang bodoh. Itu hanyalah pekerjaanku untuk memperoleh uang.
Entah betapa aku sangat sayang pada mesin tik tua itu, serasa istri pertama. Padahal anak-anakku telah menyuruh untuk menjualnya saja pada pedagang di pasar loak. Lalu mereka membelikan sebuah laptop yang tipis dan bermerk untukku. Tapi aku tidak mau menjualnya. Sebab mesin tik tua itu menyimpan kenangan yang mendalam bagiku. Mesin tik tua itu saksi sejarahku. Mesin tik tua itu pemberian ibu di saat-saat susah dulu. Sebab beliau harus membanting tulang dengan menjual kain batik milik juragannya yang uangnya dikumpulkan untuk dibelikan mesin tik itu.
Dan mesin tik itu pula yang merubah hidupku hingga aku bukan lagi Toha yang dulu, namun aku Toha yang tulisannya mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak menyentuh rakyat, memengaruhi cara berpikir mahasiswa, menjadi bahan riset untuk skripsi, tesis dan disertasi, dan menggaung hingga ke negeri yang bernama Eropa dan Amerika laksana auman seekor macan Asia.
Serta mesin tik tua itu pula aku, Toha meraih hadiah sastra di bidang kesusastraan dan bisa berkeliling dunia. Dan dengan mesin tik tua itu aku bisa menaklukkan hati seorang perempuan yang aku cintai dengan sebuah tulisan yang melambungkan hatinya ke angkasa. Ah kalau bukan karena jasa ibuku maka mesin tik tua itu, tulisan, dan hadiah sastra itu mustahil kudapatkan. Tetapi kalian tidak tahu sejarah hidupku yang penuh liku. Dan kalian berpikir aku langsung menjadi orang tanpa harus memakan asam-garam kehidupan. Tidak. Baiklah, dengarkan baik-baik ceritaku.
"Grooookk!!!". Perutku keroncongan. "Grooookk!!!. Grooookk!!!". Cacing-cacing di dalam perut melakukan aksi demo menuntut makan, bak aksi mahasiswa yang lagi mendemo Habib Brizik bim Salabim agar membubarkan ormasnya yang kelewatan anarkis, hipokrit dan diskriminatif. Sebab sudah tiga hari ini perutku belum kuisi dengan sebutir nasipun. Lebih baik aku yang kelaparan daripada istri dan anak-anakku. Sebagai seorang kepala rumah tangga aku lebih banyak mengalah. Sebab aku bisa menahan rasa lapar.
Tapi aku tidak tahan bila melihat keluargaku yang kelaparan. Aku tidak tahan bila anak-anakku merengek karena lapar. Dan aku tidak ingin istriku mengomel karena tidak ada beras yang akan ditanak. Bagaimana aku bisa memberinya uang sementara honor tulisanku dari koran belum dicairkan, dan uang royalti dari penerbit masih menunggu dua minggu lagi. Padahal sudah sebulan lalu aku menandatangani surat kontrak pencetakan bukuku yang pertama kali terbit.
Selain prosedur pencairan royalti yang berbelit-belit, monoton, dan bertele-tele layaknya sebuah telenovela, penerbit juga meminta tema naskah yang aneh-aneh. Bahasanya juga diminta yang aneh. Bahasa Melayu tidak lagi diminati hingga lenyap seperti asap rokok yang ditelan hembusan angin.
Novel sekarang bahasanya aneh-aneh dan banyak meniru bahasa orang-orang Jakarta. Bahasa Inggris, dan bahasa asing yang dicampur asuk dengan bahasa Indonesia. Tema humanisme dan religiuisme sudah tidak menarik para pembaca muda. Mereka lebih suka kepada tema-tema sains, teknologi. Sungguh ini merupakan tema yang samasekali bukan masaku untuk ukuran zaman kini. Nah, sementara aku lebih memilih tema perjuangan hidup dan sosial masyarakat di desa.
Berkali-kali aku mengirimkan naskahku pada penerbit bertemakan politik dan sosial, ditolak!. Sebab naskahku tidak memenuhi standard pasar. Aku mulai merasa bahwa penerbit dan penulis bukan menghasilkan karya untuk pengembangan dan pembaharuan sastra. Tapi mereka lebih memikirkan bisnis. Keuntungan.
Ada segelintir penulis seangkatan denganku yang kini masih eksis menulis. Mereka menulis naskah baik itu cerpen atau puisi atau novel yang bahasanya begitu sastrawi. Namun ketika dikirim ke penerbit, ternyata novel mereka ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan selera pasar. Ada pula novel-novel lama karangan sastrawan zaman keemasan dulu yang diterbitkan, namun buku-buku mereka hanya menjadi pelengkap penderita disamping novel-novel karangan novelis masa kini.
Untuk menyiasati hal itu dan agar novelnya dapat diterbitkan, maka mau tidak mau mereka harus merangkap menjadi penulis, penerbit, pemodal, dan penjual seperti yang dilakukan oleh teman-teman di Palembang dan Batam. Mereka betul-betul sastrawan sejati yang tahan banting. Mereka rela menggelontorkan uang pribadi demi melestarikan karya-karya sastra berbahasa Melayu agar tidak hilang tertelan di bumi sendiri.
Sungguh miris memang jika kita tahu nasib para penulis di negeri ini. Dan meskipun begitu, mereka masih aktif menghasilkan sebuah karya berbeda denganku. Meskipub novelku ada yang akan diterbitkan oleh salah satu penerbit yang paling berani mencetak novel-novel genre jadul seperti novelku, mereka hanya bersedia membayar 10 % dari hasil penjualan buku. Bila bukuku seharga Rp. 40.000,- dan dicetak empat ribu eksemplar, maka setelah dipotong ini-itu, maka aku hanya mendapatkan royalti 16 juta rupiah. Dan itupun tidak dibayar langsung melainkan dicicil seperti membayar kredit sepeda motor. Aku hanya mendapat 2 juta dimuka. Sisanya dibayar kemudian.
Mungkin bagi yang tidak mempunyai kepandaian menulis, mereka menganggapku sudah enak. Bah. Kata siapa?. Bila tidak punya istri dan anak rewel tidaklah mengapa. Tapi, apakah aku tega membiarkan istri dan anakku terus mendapat subsidi dari mertuaku?. Apakah aku akan diam saja dan ikut menikmati makanan yang diberi oleh mertuaku?. Tentu saja tidak. Mau disurukkan kemana mukaku?. Samasaja halnya aku tidak punya rasa malu. Lha wong aku menikahi putri mereka dulu bukan untuk disengsarakan seperti ini. tapi komitmenku adalah membahagiakan dan mencukupi nafkah untuknya.
Istriku sejak dulu mengatakan kepadaku akan menerima dan mendukung pekerjaanku. Dia berjanji akan selalu di belakang dan menktritisi apa yang aku tulis. Termasuk nafkah yang diterimanya dariku. Ia tidak memandang nominalnya. Duh, luruh hatiku ketika mendengar ucapannya saat itu. Ia selalu membelaku bila ayah dan ibunya mencelaku. Kata mertuaku aku telah membuang-buang waktu dan menghambur-hamburkan kertas untuk sebuah pekerjaan yang tidak ada hasilnya. Bahkan ia menyindir membanding-bandingkanku dengan anak bungsunya yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor dinas di kabupaten.
"Akhirnya usaha Bapak tidak sia-sia dalam menyekolahkan Arif hingga ke Perguruan Tinggi," katanya pada istriku. Istriku merupakan anak pertama. Adiknya yang nomor dua kini bekerja di pabrik stainless stell di Klaten. "Kalau dulu kamu tidak keburu nikah sama si Toha, mungkin kini kamu sudah jadi PNS juga."
Bagi mertuaku dan mungkin kebanyakan orang, PNS merupakan sebuah pekerjaan yang paling tinggi dan terhormat. Dihargai orang karena berpakaian dinas, memakai sepatu kulit, dan memakai sepeda motor plat merah. Bila dibanding aku, gaji tak jelas, dan pekerjaan tak kasat mata. Hanya orang-orang yang sepaham saja yang tahu. Dan menurut mereka berkhayal dan berpuisi merupakan kegilaan yang jaya.
Entah ia a tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa pekerjaan PNS itu berarti menjadi kacungnya pemerintah. Sampai kapanpun bila punya motornya, motor pemerintah. Punya rumah. rumah pemerintah. Hidup diatur-atur pemerintah. Rezeki diatur pemerintah. Kalau mau dapat lebih, harus berani korupsi. Berani manipulasi. Berani terima suap. Berani masuk penjara kalau ketahuan. Bahkan harus berani masuk neraka kalau sudah mati!.
Jabatan tidak naik begitu saja, harus menunggu promosi dari atasan. Kalau tidak, ya... begitu-begitu saja selama puluhan tahun jadi PNS. Akibatnya, mau membeli apapun harus mengutang. Ini fakta!. Buktinya, Arif, yang selalu dibangga-banggakan oleh mertuaku itupun pernah mengutang pada istriku saat royalti bukuku turun.
Ia bilang ingin membayar tagihan kredit laptopnya. Dan kebetulan gajinya tidak turun selama hampir tiga bulan karena uangnya ditahan oleh pemerintah propinsi, akibat adanya sengkarut dalam proses pembahasan APBD dengan anggota dewan. Ia merengek-rengek pada istriku agar dipinjami uang. Padahal istriku akan memakainya untuk melunasi uang SPP dan biaya semester kedua anakku yang mau naik kelas. Dan sisanya untuk membeli beras. Untunglah, saat itu aku dapat tambahan pemasukan lain dari uang honor cerpen dari koran mingguan dan majalah sastra. Sehingga bisa menolong adi iparku itu.
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)