Sinar matahari pagi menyepuh pepucuk pepohonan, rerumputan, lereng-lereng perbukitan, sungai-sungai serta atap rumah-rumah penduduk.
Pagi terasa begitu hangat. Embun bersinar kemilau bagai butiran mutiara. Dataran tinggi melipat kabut laksana hamparan selimut putih. Langit tampak bersih membiru tanpa dinodai setitikpun awan.
Angin bersiul pelan. Jemarinya menggetarkan dedaunan pohon asam gelugur dan sengon. Arus sungai yang tenang melantunkan lagu kedamaian dalam perjalanan panjangnya menuju samudera luas. Dari kejauhan, puncak gunung Mahameru tampak megah memantulkan pendar keemasan sinar matahari pagi.
Sekawanan kambing-kambing gemuk lahap memamah pucuk-pucuk rerumputan segar di padang penggembalaan. Kerbau-kerbau para petani menyesap manisnya air sungai yang jernih. Sementara para penduduk Kadipaten Lumajang tampak sibuk dengan aktifitas masing-masing. Para petani sibuk menjaga sawah mereka dari kawanan burung pipit yang sesekali bertengger ketika padi mulai menguning bak lautan emas. Para nelayan sibuk menangkap ikan di sepanjang aliran sungai dengan sampan mereka. Dan para pedagang sibuk di pasar seraya meneriakkan kehebatan barang dagangan mereka masing-masing. Kehidupan tampak damai tanpa adanya perang yang hanya menimbulkan banyak korban harta dan nyawa, juga membuat rakyat sengsara dan diliputi rasa takut yang mencekam.
Benteng yang mengelilingi istana Kadipaten itu berdiri dengan kokoh dan penuh wibawa. Sistem keamanannya begitu ketat sehingga tidak memudahkan penyusup atau mata-mata menelusup masuk dengan mudah menuju istana. Gerbang utamanya dijaga oleh dua prajurit tangguh yang dilengkapi dengan senjata tombak dan tameng terbuat dari baja. Baju yang membungkus tubuh kekar mereka terbuat dari zirah yang tipis sehingga tidak mudah ditembus oleh senjata musuh yang siapa tahu menyerang secara tiba-tiba. Selain dilengkapi dengan senjata dan baju zirah, mereka juga telah digembleng dengan ilmu olah kanuragan yang mumpuni. Di kedua tepi pintu gerbang benteng dilengkapi dengan dua menara yang berfungsi sebagai pengintai musuh dan sekaligus sarana pemberitahuan kalau ada tamu penting kadipaten hendak memasuki benteng.
Menara tersebut dijaga oleh dua prajurit yang juga dilengkapi dengan senjata dan baju zirah. Para prajurit itu tiap hari berjaga secara bergantian. Baik di luar maupun di dalam benteng, para prajurit berkeliling untuk memastikan istana Kadipaten aman dari serangan pihak lawan. Sementara di alun-alun di sebelah kanan benteng, para prajurit yang terbagi dalam beberapa regu tampak sedang berlatih cara berperang dengan memakai pedang dan tombak.
Di dalam istana kadipaten, Patih Nambi duduk dengan bertelekan kursi bangsal kencana yang terbuat dari kayu jati ukiran bertabur intan dan disepuh emas. Wajahnya yang cerah menggambarkan ketulusan hati. Tutur katanya lembut. Halus budi. Matanya teduh menyejukkan jiwa. Ia memerintah Kadipaten Lumajang dengan arif dan bijaksana, sehingga menjadikan kadipaten tersebut maju di bawah kekuasaan kerajaan Syiwo-Buddho Majapahit. Rakyatnya makmur dan sejahtera. Ia juga berhasil menjadikan kadipaten Lumajang sebagai lumbung beras terbesar di daerah Jawa bagian timur.
Saat itu, Patih Nambi sedang menerima tamu penting yaitu Prabu Menak Jinggo, penguasa Kadipaten Blambangan. Mereka berdua tengah membahas dan merundingkan tentang kerjasama antar kedua kadipaten yang telah lama bersahabat dan berhubungan baik. Prabu Menak Jinggo meminta kepada Patih Nambi agar Kadipaten Lumajang mengirimkan beras dan hsil pertanian sebagai persediaan makanan pokok rakyat Kadipaten Blambangan yang berada di dekat laut. Begitupun sebaliknya, Kadipaten Blambangan diminta mengirimkan hasil lautnya berupa ikan dan garam kepada Kadipaten Lumajang. Patih Nambi sangat antusias menyambut hubungan kerjasama bilateral itu karena sama-sama menguntungkan dan mampu menjamin kesejahteraan hidup rakyat kedua kadipaten.
Namun ditengah-tengah pembicaran hangat menyangkut persahabatan dan perdagangan antar kedua kadipaten, tiba-tiba Prabu Menak Jinggo membelokkan topik bahasan.
"Kakang Patih Nambi. Apakah di dalam benak Kakang tidak pernah terbetik keinginan untuk memisahkan diri dari kerajaan induk?," Tanya Prabu Menak Jinggo mulai memercikkan api ke dalam hati Patih Nambi.
"Apa maksud, Kakang Adipati?," Patih Nambi yang merasa penasaran dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Prabu Menak Jinggo justru balik bertanya.
"Apakah Kakang Patih Nambi tidak terbersit sedikitpun keinginan untuk menjadikan Kadipaten Lumajang sebagai kerajaan tersendiri, Telepas dari kerajaan induk?. Bukankah selama ini saya nilai, Kakang Patih telah berhasil memajukan Lumajang?. Di bawah kepemimpinan Kakang Patih, rakyat Lumajang sejahtera dan sentosa. Tanahnya subur sehingga menjadi lumbung beras terbesar bagi kerajaan. Sementara pihak Majapahit selama ini bisanya hanya memungut upeti yang tinggi tanpa berpikir untuk menyejahterakan rakyatnya. Belum lagi aturan-aturan yang dibuat oleh mereka justru mengekang kebebasan sehingga memperlambat kemajuan sebuah kadipaten," Prabu Menak Jinggo terus mengompori telinga Patih Nambi.
Ia ingin menumbuhkan kebencian di hati Patih Nambi terhadap Kerajaan Majapahit yang kini berada di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Ia ingin mengadu domba Kadipaten Lumajang dengan Majapahit dengan cara memanas-manasi Patih Nambi. Sebab dendam kesumat Prabu Menakjinggo terhadap Ratu Tribhuwana Wijaya Tunggadewi atau yang dikenal dengan Ratu Kencono Wungu, yang diperistri oleh Pangeran Damarwulan masih bercokol bagai bara dalam sekam di dalam hatinya.
Sungguh Ia masih merasa patah hati sekaligus dendam kesumat karena Ratu Kencono Wungu telah mengingkari janjinya atas sayembara yang isinya, barangsiapa yang dapat mengalahkan Kebo Marcuet hingga tewas, bila lelaki akan dijadikan suami sekaligus raja dan bila perempuan akan dijadikan saudara aleh. Ternyata yang berhasil mengalahkan Kebo Marcuet hingga tewas adalah pemuda yang bernama Jaka Umbaran. Meskipun pada akhirnya Kebo Marcuet dapat ditaklukkan, hingga tewas, namun Kebo Marcuet terbukti bukanlah pendekar sembarangan. Meskipun kelelahan setelah melawan pendekar-pendekar yang lainnya dan hanya tinggal memiliki sisa-sisa tenaga saat menghadapi Jaka Umbaran, ia merasa kewalahan juga. Tubuhnya remuk dan mukanya hancur sehingga ketampanan yang dimilikinya tidak menarik lagi bagi Ratu Kencono Wungu.
Maka tidaklah mengherankan, ketika Jaka Umbaran datang menghadap sang Ratu sebagai pemenang sayembara, Ratu Kencono Wungu justru menolaknya sebagai suami. Beliau hanya menitahkannya untuk pergi ke Blambangan dan menobatkannya sebagai adipati dengan gelar Prabu Menak Jinggo. Rasa sakit dan kecewa akibat ingkar janji itu masih membekas di hati Menak Jinggo. Dan ia berambisi ingin menjadi Raja Blambangan dengan cara memisahkan Kadipaten Blambangan dari Kerajaan Majapahit. Maka sejak itu diam-diam ia mempersiapkan prajurit yang tangguh untuk mengadakan pemberontakan.
"Saya menerima kabar dari mata-mata yang saya kirim ke Kota Raja bahwa Raja Hayam Wuruk, keturunan trah Damarwulan itu sedang berselisih dengan Mahapatih Gajah Mada," Lanjut Prabu Menak Jinggo dengan nada licik.
"Benarkah itu, Kakang Adipati?," Patih Nambi tampak tertarik namun sekaligus ragu terhadap apa yang diucapkan oleh Prabu Menak Jinggo.
"Kerajaan Pahang dan Penang di bagian barat juga mengadakan perlawanan untuk memisahkan diri dari Majapahit. Ditambah lagi dengan tragedi Perang Bubat yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan dari Kerajaan Sunda, termasuk Mahararaja Linggabuana, Permaisuri serta putrinya, Putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang terpaksa melakukan bela pati 1. Padahal sang putri sedianya akan menjadi calon Permaisuri Raja Hayam Wuruk. Tak pelak lagi, Tragedi itu menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi Raja Hayam Wuruk dan menyebabkan kerenggangan antara sang Raja dengan Mahapatihnya itu.
"Nah, jika kita mengadakan perlawanan terhadap Majapahit, bukan tidak mungkin perselisihan antara kedua pemimpin itu semakin melebar yang akan berimbas pada keruntuhan Majapahit," Ujar Prabu Menak Jinggo kian deras melancarkan hasutannya.
Patih Nambi termenung, dahinya berkerut tanda bahwa ia mulai serius memikirkan ide yang diapungkan oleh Prabu Menak Jinggo. Batinnya membenarkan apa yang dikatakan oleh tamunya itu. Ia juga menimbang-nimbang, kalau Kadipaten Lumajang memisahkan diri dari Kerajaan Majapahit maka, yang pertama, kadipaten tersebut tidak lagi akan dibebani dengan upeti yang harus dibayar setiap bulan. Yang kedua, Kadipaten Lumajang tidak akan dikenakan aturan-aturan menurutnya merugikan kadipaten. Yang ketiga, dirinya akan menjadi raja di Kadipaten Lumajang. Yang keempat, Kadipaten Lumajang tidak lagi berhubungan dengan Majapahit sehingga menjadi kerajaan tersendiri. Bila Prabu Menak Jinggo berkeinginan untuk memisahkan diri dari Majapahit, kenapa dirinya tidak?. Pikir Patih Nambi. Prabu Menak Jinggo tersenyum kecil melihat raut wajah Patih Nambi yang seperti mendapat sebuah pencerahan.
"Baik saya akan mempertimbangkannya, Kakang Adipati," Jawab Patih Nambi dengan nada mantap.
"Bersegeralah rencana itu dilaksanakan, Patih!," Tukas Prabu Menak Jinggo seraya tersenyum penuh kepuasan. Hatinya merasa bahagia mendengar pernyataan Patih Nambi. Sebenarnya didalam hatinya, Prabu Menak Jinggo merasa iri terhadap Patih Nambi yang justru terpilih menjadi Patih. Ia ingin melihat pertempuran dahsyat antara Kadipaten Lumajang dan Kerajaan Majapahit. Ia berhitung bahwa Majapahit dengan tentu sangat mudah mengalahkan Lumajang. Dan ia yakin bahwa Patih Nambi akan tewas di tangan Mahapatih Gajah Mada.
Setelah pertemuan dengan Prabu Menak Jinggo, pada malamnya Patih Nambi menulis sepucuk surat pada daun rontal yang sedianya akan ia kirimkan kepada Raja Hayam Wuruk. Tapi keputusannya itu justru mendapat pertentangan dari istrinya.
"Coba Kangmas pikirkan masak-masak sekali lagi,” Kata istrinya mencoba menenangkan gejolak di hati Patih Nambi yang sudah terbakar oleh kata-kata hasutan Prabu Menak Jinggo. ”Saya tidak ingin kangmas terkena murka Raja Hayam Wuruk. Kangas tahu betul bagaimana baginda Raja kalau sudah marah. Prajurit Kadipaten kita sudah jelas kalah dalam kekuatan perang dibanding pihak kerajaan. Belum lagi bila Mahapatih Gajah Mada yang termashyur sebagai ahli strategi itu memimpin peperangan. Alamat kebinasaan akan menimpa rakyat Kadipaten Lumajang.”
Namun kecemasan yang terpancar dari muka istrinya samasekali tidak membuat keputusan Patih Nambi untuk memisahkan diri dari Majapahit menjadi mundur. Justru ia semakin nekad dalam menentang kehancuran. Kata-kata Prabu Menak Jinggo telah meracuni otaknya. Justru ia menganggap kata-kata istrinya seperti ocehan tukang jamu keliling.
"Nyai, selama ini saya telah berjasa besar terhadap kemajuan Kadipaten Lumajang!," Bentaknya kepada istrinya. Mukanya memerah seperti besi pande yang panas. "Saya telah berhasil menjadikan Lumajang sebagai lumbung beras di Jawa bagian timur, sehingga rakyat tidak kelaparan. Apakah Majapahit tahu soal ini? Apakah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada memikirkan tentang kesejahteraan rakyat Kadipaten ini?. Tidak!. Tidak, Nyai!. Mereka bisanya hanya memungut upeti. Maka dari itu saya akan menjadikan Kadipaten Lumajang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri," Lanjutnya dengan mata berapi-api.
"Dan kangmas yang akan menjadi rajanya?!," Timpal istrinya dengan nada meninggi. "Jangan serakah ingin jadi penguasa. Jangan terlalu berambisi untuk menggapai sesuatu yang tidak mungkin. Karena bisa jadi yang kita harapkan tidak akan menjadi kenyataan. Justru sebaliknya, kita akan menjadi orang yang merugi karena telah mengejar kesia-siaan. Kita terlebih dulu harus mengukur kemampuan kita, Ingat itu Kangmas?."
Patih Nambi melengos dan meninggalkan istrinya. Ia tidak sudi lagi mendengarkan kata-kata nasihat bijak dari istrinya itu.
Pagi terasa begitu hangat. Embun bersinar kemilau bagai butiran mutiara. Dataran tinggi melipat kabut laksana hamparan selimut putih. Langit tampak bersih membiru tanpa dinodai setitikpun awan.
Angin bersiul pelan. Jemarinya menggetarkan dedaunan pohon asam gelugur dan sengon. Arus sungai yang tenang melantunkan lagu kedamaian dalam perjalanan panjangnya menuju samudera luas. Dari kejauhan, puncak gunung Mahameru tampak megah memantulkan pendar keemasan sinar matahari pagi.
Sekawanan kambing-kambing gemuk lahap memamah pucuk-pucuk rerumputan segar di padang penggembalaan. Kerbau-kerbau para petani menyesap manisnya air sungai yang jernih. Sementara para penduduk Kadipaten Lumajang tampak sibuk dengan aktifitas masing-masing. Para petani sibuk menjaga sawah mereka dari kawanan burung pipit yang sesekali bertengger ketika padi mulai menguning bak lautan emas. Para nelayan sibuk menangkap ikan di sepanjang aliran sungai dengan sampan mereka. Dan para pedagang sibuk di pasar seraya meneriakkan kehebatan barang dagangan mereka masing-masing. Kehidupan tampak damai tanpa adanya perang yang hanya menimbulkan banyak korban harta dan nyawa, juga membuat rakyat sengsara dan diliputi rasa takut yang mencekam.
Benteng yang mengelilingi istana Kadipaten itu berdiri dengan kokoh dan penuh wibawa. Sistem keamanannya begitu ketat sehingga tidak memudahkan penyusup atau mata-mata menelusup masuk dengan mudah menuju istana. Gerbang utamanya dijaga oleh dua prajurit tangguh yang dilengkapi dengan senjata tombak dan tameng terbuat dari baja. Baju yang membungkus tubuh kekar mereka terbuat dari zirah yang tipis sehingga tidak mudah ditembus oleh senjata musuh yang siapa tahu menyerang secara tiba-tiba. Selain dilengkapi dengan senjata dan baju zirah, mereka juga telah digembleng dengan ilmu olah kanuragan yang mumpuni. Di kedua tepi pintu gerbang benteng dilengkapi dengan dua menara yang berfungsi sebagai pengintai musuh dan sekaligus sarana pemberitahuan kalau ada tamu penting kadipaten hendak memasuki benteng.
Menara tersebut dijaga oleh dua prajurit yang juga dilengkapi dengan senjata dan baju zirah. Para prajurit itu tiap hari berjaga secara bergantian. Baik di luar maupun di dalam benteng, para prajurit berkeliling untuk memastikan istana Kadipaten aman dari serangan pihak lawan. Sementara di alun-alun di sebelah kanan benteng, para prajurit yang terbagi dalam beberapa regu tampak sedang berlatih cara berperang dengan memakai pedang dan tombak.
Di dalam istana kadipaten, Patih Nambi duduk dengan bertelekan kursi bangsal kencana yang terbuat dari kayu jati ukiran bertabur intan dan disepuh emas. Wajahnya yang cerah menggambarkan ketulusan hati. Tutur katanya lembut. Halus budi. Matanya teduh menyejukkan jiwa. Ia memerintah Kadipaten Lumajang dengan arif dan bijaksana, sehingga menjadikan kadipaten tersebut maju di bawah kekuasaan kerajaan Syiwo-Buddho Majapahit. Rakyatnya makmur dan sejahtera. Ia juga berhasil menjadikan kadipaten Lumajang sebagai lumbung beras terbesar di daerah Jawa bagian timur.
Saat itu, Patih Nambi sedang menerima tamu penting yaitu Prabu Menak Jinggo, penguasa Kadipaten Blambangan. Mereka berdua tengah membahas dan merundingkan tentang kerjasama antar kedua kadipaten yang telah lama bersahabat dan berhubungan baik. Prabu Menak Jinggo meminta kepada Patih Nambi agar Kadipaten Lumajang mengirimkan beras dan hsil pertanian sebagai persediaan makanan pokok rakyat Kadipaten Blambangan yang berada di dekat laut. Begitupun sebaliknya, Kadipaten Blambangan diminta mengirimkan hasil lautnya berupa ikan dan garam kepada Kadipaten Lumajang. Patih Nambi sangat antusias menyambut hubungan kerjasama bilateral itu karena sama-sama menguntungkan dan mampu menjamin kesejahteraan hidup rakyat kedua kadipaten.
Namun ditengah-tengah pembicaran hangat menyangkut persahabatan dan perdagangan antar kedua kadipaten, tiba-tiba Prabu Menak Jinggo membelokkan topik bahasan.
"Kakang Patih Nambi. Apakah di dalam benak Kakang tidak pernah terbetik keinginan untuk memisahkan diri dari kerajaan induk?," Tanya Prabu Menak Jinggo mulai memercikkan api ke dalam hati Patih Nambi.
"Apa maksud, Kakang Adipati?," Patih Nambi yang merasa penasaran dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Prabu Menak Jinggo justru balik bertanya.
"Apakah Kakang Patih Nambi tidak terbersit sedikitpun keinginan untuk menjadikan Kadipaten Lumajang sebagai kerajaan tersendiri, Telepas dari kerajaan induk?. Bukankah selama ini saya nilai, Kakang Patih telah berhasil memajukan Lumajang?. Di bawah kepemimpinan Kakang Patih, rakyat Lumajang sejahtera dan sentosa. Tanahnya subur sehingga menjadi lumbung beras terbesar bagi kerajaan. Sementara pihak Majapahit selama ini bisanya hanya memungut upeti yang tinggi tanpa berpikir untuk menyejahterakan rakyatnya. Belum lagi aturan-aturan yang dibuat oleh mereka justru mengekang kebebasan sehingga memperlambat kemajuan sebuah kadipaten," Prabu Menak Jinggo terus mengompori telinga Patih Nambi.
Ia ingin menumbuhkan kebencian di hati Patih Nambi terhadap Kerajaan Majapahit yang kini berada di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Ia ingin mengadu domba Kadipaten Lumajang dengan Majapahit dengan cara memanas-manasi Patih Nambi. Sebab dendam kesumat Prabu Menakjinggo terhadap Ratu Tribhuwana Wijaya Tunggadewi atau yang dikenal dengan Ratu Kencono Wungu, yang diperistri oleh Pangeran Damarwulan masih bercokol bagai bara dalam sekam di dalam hatinya.
Sungguh Ia masih merasa patah hati sekaligus dendam kesumat karena Ratu Kencono Wungu telah mengingkari janjinya atas sayembara yang isinya, barangsiapa yang dapat mengalahkan Kebo Marcuet hingga tewas, bila lelaki akan dijadikan suami sekaligus raja dan bila perempuan akan dijadikan saudara aleh. Ternyata yang berhasil mengalahkan Kebo Marcuet hingga tewas adalah pemuda yang bernama Jaka Umbaran. Meskipun pada akhirnya Kebo Marcuet dapat ditaklukkan, hingga tewas, namun Kebo Marcuet terbukti bukanlah pendekar sembarangan. Meskipun kelelahan setelah melawan pendekar-pendekar yang lainnya dan hanya tinggal memiliki sisa-sisa tenaga saat menghadapi Jaka Umbaran, ia merasa kewalahan juga. Tubuhnya remuk dan mukanya hancur sehingga ketampanan yang dimilikinya tidak menarik lagi bagi Ratu Kencono Wungu.
Maka tidaklah mengherankan, ketika Jaka Umbaran datang menghadap sang Ratu sebagai pemenang sayembara, Ratu Kencono Wungu justru menolaknya sebagai suami. Beliau hanya menitahkannya untuk pergi ke Blambangan dan menobatkannya sebagai adipati dengan gelar Prabu Menak Jinggo. Rasa sakit dan kecewa akibat ingkar janji itu masih membekas di hati Menak Jinggo. Dan ia berambisi ingin menjadi Raja Blambangan dengan cara memisahkan Kadipaten Blambangan dari Kerajaan Majapahit. Maka sejak itu diam-diam ia mempersiapkan prajurit yang tangguh untuk mengadakan pemberontakan.
"Saya menerima kabar dari mata-mata yang saya kirim ke Kota Raja bahwa Raja Hayam Wuruk, keturunan trah Damarwulan itu sedang berselisih dengan Mahapatih Gajah Mada," Lanjut Prabu Menak Jinggo dengan nada licik.
"Benarkah itu, Kakang Adipati?," Patih Nambi tampak tertarik namun sekaligus ragu terhadap apa yang diucapkan oleh Prabu Menak Jinggo.
"Kerajaan Pahang dan Penang di bagian barat juga mengadakan perlawanan untuk memisahkan diri dari Majapahit. Ditambah lagi dengan tragedi Perang Bubat yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan dari Kerajaan Sunda, termasuk Mahararaja Linggabuana, Permaisuri serta putrinya, Putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang terpaksa melakukan bela pati 1. Padahal sang putri sedianya akan menjadi calon Permaisuri Raja Hayam Wuruk. Tak pelak lagi, Tragedi itu menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi Raja Hayam Wuruk dan menyebabkan kerenggangan antara sang Raja dengan Mahapatihnya itu.
"Nah, jika kita mengadakan perlawanan terhadap Majapahit, bukan tidak mungkin perselisihan antara kedua pemimpin itu semakin melebar yang akan berimbas pada keruntuhan Majapahit," Ujar Prabu Menak Jinggo kian deras melancarkan hasutannya.
Patih Nambi termenung, dahinya berkerut tanda bahwa ia mulai serius memikirkan ide yang diapungkan oleh Prabu Menak Jinggo. Batinnya membenarkan apa yang dikatakan oleh tamunya itu. Ia juga menimbang-nimbang, kalau Kadipaten Lumajang memisahkan diri dari Kerajaan Majapahit maka, yang pertama, kadipaten tersebut tidak lagi akan dibebani dengan upeti yang harus dibayar setiap bulan. Yang kedua, Kadipaten Lumajang tidak akan dikenakan aturan-aturan menurutnya merugikan kadipaten. Yang ketiga, dirinya akan menjadi raja di Kadipaten Lumajang. Yang keempat, Kadipaten Lumajang tidak lagi berhubungan dengan Majapahit sehingga menjadi kerajaan tersendiri. Bila Prabu Menak Jinggo berkeinginan untuk memisahkan diri dari Majapahit, kenapa dirinya tidak?. Pikir Patih Nambi. Prabu Menak Jinggo tersenyum kecil melihat raut wajah Patih Nambi yang seperti mendapat sebuah pencerahan.
"Baik saya akan mempertimbangkannya, Kakang Adipati," Jawab Patih Nambi dengan nada mantap.
"Bersegeralah rencana itu dilaksanakan, Patih!," Tukas Prabu Menak Jinggo seraya tersenyum penuh kepuasan. Hatinya merasa bahagia mendengar pernyataan Patih Nambi. Sebenarnya didalam hatinya, Prabu Menak Jinggo merasa iri terhadap Patih Nambi yang justru terpilih menjadi Patih. Ia ingin melihat pertempuran dahsyat antara Kadipaten Lumajang dan Kerajaan Majapahit. Ia berhitung bahwa Majapahit dengan tentu sangat mudah mengalahkan Lumajang. Dan ia yakin bahwa Patih Nambi akan tewas di tangan Mahapatih Gajah Mada.
Setelah pertemuan dengan Prabu Menak Jinggo, pada malamnya Patih Nambi menulis sepucuk surat pada daun rontal yang sedianya akan ia kirimkan kepada Raja Hayam Wuruk. Tapi keputusannya itu justru mendapat pertentangan dari istrinya.
"Coba Kangmas pikirkan masak-masak sekali lagi,” Kata istrinya mencoba menenangkan gejolak di hati Patih Nambi yang sudah terbakar oleh kata-kata hasutan Prabu Menak Jinggo. ”Saya tidak ingin kangmas terkena murka Raja Hayam Wuruk. Kangas tahu betul bagaimana baginda Raja kalau sudah marah. Prajurit Kadipaten kita sudah jelas kalah dalam kekuatan perang dibanding pihak kerajaan. Belum lagi bila Mahapatih Gajah Mada yang termashyur sebagai ahli strategi itu memimpin peperangan. Alamat kebinasaan akan menimpa rakyat Kadipaten Lumajang.”
Namun kecemasan yang terpancar dari muka istrinya samasekali tidak membuat keputusan Patih Nambi untuk memisahkan diri dari Majapahit menjadi mundur. Justru ia semakin nekad dalam menentang kehancuran. Kata-kata Prabu Menak Jinggo telah meracuni otaknya. Justru ia menganggap kata-kata istrinya seperti ocehan tukang jamu keliling.
"Nyai, selama ini saya telah berjasa besar terhadap kemajuan Kadipaten Lumajang!," Bentaknya kepada istrinya. Mukanya memerah seperti besi pande yang panas. "Saya telah berhasil menjadikan Lumajang sebagai lumbung beras di Jawa bagian timur, sehingga rakyat tidak kelaparan. Apakah Majapahit tahu soal ini? Apakah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada memikirkan tentang kesejahteraan rakyat Kadipaten ini?. Tidak!. Tidak, Nyai!. Mereka bisanya hanya memungut upeti. Maka dari itu saya akan menjadikan Kadipaten Lumajang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri," Lanjutnya dengan mata berapi-api.
"Dan kangmas yang akan menjadi rajanya?!," Timpal istrinya dengan nada meninggi. "Jangan serakah ingin jadi penguasa. Jangan terlalu berambisi untuk menggapai sesuatu yang tidak mungkin. Karena bisa jadi yang kita harapkan tidak akan menjadi kenyataan. Justru sebaliknya, kita akan menjadi orang yang merugi karena telah mengejar kesia-siaan. Kita terlebih dulu harus mengukur kemampuan kita, Ingat itu Kangmas?."
Patih Nambi melengos dan meninggalkan istrinya. Ia tidak sudi lagi mendengarkan kata-kata nasihat bijak dari istrinya itu.
1. Bela pati : Bunuh diri untuk membela kehormatan, atau dalam istilah lain yang lebih terkenal, Harakiri (japan)
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)