Aku belum siap. Mungkin tidak akan pernah siap. Tapi, menghindar bukan jalan keluar. Kami memang harus bicara, sebagai dua orang dewasa yang bekerja sama dalam sebuah tim untuk sebuah tujuan yang melibatkan banyak orang.
Aku tidak pernah berencana untuk mengagumi Iftar dan menyayanginya, lebih dari seorang sahabat. Aku dan Heni, istrinya, berteman. Aku yang menemani Nisa, putri mereka, naik kuda di Kledung tiap kali ia datang kemari. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti mereka, tapi aku juga tidak ingin berbohong pada diriku sendiri dan Iftar.
Kalau ada waktu terbaik untuk berharap pada diriku sendiri, inilah saatnya. Berharap agar aku bisa menjaga perasaan banyak orang. Berharap agar aku bisa melihat semua dengan jernih, tidak terjebak dalam dilema perasaanku sendiri, tanpa harus jadi pahlawan kesiangan yang merasa telah berkorban untuk banyak orang.
Workshop yang dipimpinnya selesai sejam kemudian. Iftar keluar bersama anak-anak yang siap diantar pulang Ferdy. Seorang anak yang digendong Iftar memeluk lehernya kuat-kuat sambil mengucap terima kasih. Aku berdiri di kejauhan, memandang dengan kagum, sambil menarik napas dalam-dalam. Berharap bisa mengurangi rasa sesak karena menahan keinginan untuk ambil bagian.
Mobil L-300 yang diisi hampir 20 anak meninggalkan tempat parkir di depan gedung pertemuan. Sekarang hanya ada aku dan Iftar. Nurul dan beberapa teman lain sedang makan malam. Kami bisa leluasa pergi berdua tanpa ada yang curiga. Sudah bertahun-tahun kami bersama, begitulah adanya. Hanya saja, beberapa minggu terakhir ini, ada yang berubah. Aku tahu. Iftar juga tahu. Itulah sebabnya kami harus bicara.
Kami duduk diam dalam mobil yang membelah malam di Temanggung.
"Mila tidak ada di workshop sore tadi," katanya, setelah beberapa saat.
Iftar memiliki perhatian khusus pada Mila, gadis cerdas berusia 8 tahun dengan celah bibir. Berkali-kali lembaga kami menawarkan operasi untuk memperbaiki bibir Mila, tapi orang tuanya menolak.
Lambat laun, kami curiga ada sesuatu yang terjadi pada gadis kecil ini. Akhirnya, pada suatu hari Mila bercerita kepada kami, orang tuanya sering memaksanya turun ke jalan untuk mengemis. Kalau celah bibirnya dioperasi, tidak banyak orang yang akan iba kepadanya.
Aku bisa merasakan kegelisahannya. Mobil kami terus melaju, mengarah ke Kledung. Iftar sedikit bercerita tentang riset baru di Makassar. Kurang dari tiga bulan ke depan, mereka akan pindah ke sana. Makassar dan Mentawai bukan jarak yang dekat. Kami nyaris tidak akan pernah bersama-sama lagi untuk waktu yang lama.
"Ferdy minta kau mendampingi tim mereka ke Mentawai. Katanya, hanya kau yang bisa." Kutangkap nada sedih dalam suaranya.
"Kasus apa?. Ferdy belum bilang apa-apa padaku," tanyaku.
"Child abuse. Perlu konselor andal sepertimu," jawabnya sambil melirik sekilas padaku.
Kami tiba di sebuah sisi jalan di atas bukit yang menghadap taburan lampu- lampu Kota Temanggung. Kutatap Iftar tepekur memandangi kegelapan. Wajahnya terlihat letih. Sesekali dia menghela napas, hingga akhirnya menengok ke arahku, lalu tersenyum.
"Aku menyayangimu, Mayang," katanya, sambil mengusap lembut rambutku.
Di luar, malam makin dingin. Kabut turun pekat di luar. Namun, tatapan Iftar membuatku merasa hangat. Berharap aku bisa membuang jauh pikiran yang melayang pada Heni dan Nisa. Aku bukan pengkhianat. Aku tidak ingin menjadi wanita yang merusak keharmonisan rumah tangga orang. Hatiku terasa sesak. Kepalaku penat.
"Perasaan tidak pernah bisa dijelaskan sebagai benar atau salah. Mungkin bisa dimengerti dan tidak dimengerti. Tapi, tidak sebagai salah dan benar." Iftar menyentuh wajahku dengan punggung tangannya. Tatap matanya seperti menusuk hatiku.
"Bisakah aku mencintaimu dalam diam ?," tanyaku setengah berbisik. "Perasaan kita memang tidak pernah bisa dibilang salah atau benar. Tapi, dengan situasi yang kita hadapi saat ini, kita bisa mengendalikannya. Terlalu banyak yang dipertaruhkan." lanjutku.
Iftar menarik napas dalam, "Aku lelah," katanya.
Kubiarkan dia diam sebentar.
"Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Terlalu banyak kesedihan yang harus kusaksikan." Matanya mulai berair. “Oh Lord, Thy sea is so great, and my boat is so small," lanjutnya.
Kutipan Einstein yang sering diulangnya itu membawaku larut dalam rasa haru. Begitu ingin aku memeluknya, tapi kutahan rasaku, hingga membuat rasa sesak yang menyakitkan.
"Banyak 'mengapa' yang tiba-tiba menyerbu masuk dalam kepalaku, May," ujarnya lirih.
Aku mengangguk, mencoba mengerti.
"Mengapa aku harus mencintaimu...?," Iftar melanjutkan. "Mengapa harus merasa iba pada Mila."
Kepalanya tertunduk, Iftar menangis diam-diam. "Mengapa harus banyak kesedihan dan penderitaan?."
Kuhapus air matanya. Tak kuasa lagi menahan diri, kupeluk dia.
"Aku ada di sini. Menangislah,"
Iftar menangis pelan. Tangisan untuk Mila, tangisan untuk si kembar Vino dan Rezki yang baru kehilangan ibu mereka yang meninggal karena AIDS, tangisan untuk Reval yang terlahir tanpa kulit.
"Konselor itu seperti recycle bin," Ucap Nurul pada suatu pagi ketika kami sedang bersiap masuk sesi.
Aku tersenyum. "Inilah pelayanan kita." jawabku singkat.
Kutunggu dengan sabar sampai Iftar selesai. Besok hari terakhir kami. Lusa seluruh tim akan kembali ke Bandung. Iftar akan kembali pada keluarganya. Meski tak seperti caranya berbagi tangis denganku, aku harus rela melepaskan Iftar untuk kembali pada Heni.
"Aku mencintaimu, Mayang," Ujar Iftar, sambil kembali membelai wajahku.
Napasku sesak. Aku tahu pernyataan cinta Iftar hanya akan membawa lebih banyak kabut dan awan kelabu memenuhi seluruh ruangan hatiku.
Kusambut tangannya dan kugenggam erat, "Cintai aku dalam diam," bisikku. "Hanya itu yang kita punya."
Aku percaya Iftar tidak bermaksud membentuk ketergantungan emosional, namun yang terjadi di antara kami tengah menuju ke sana. Aku hanya perempuan biasa yang sedang menikmati pesan singkat yang dikirimnya sebelum aku tidur.
"Selamat tidur, Sayang"
Kubaca pesan itu berulang-ulang, dan merasakan sensasi emosi yang menyenangkan hatiku. Kutahu, aku mencintainya dan menikmati perhatian yang diberikannya.
Sesi hari itu selesai menjelang tengah hari. Semuanya berjalan menuju ruang makan dengan hati gembira. Ferdy dengan wajah yang cerah menghampiriku dan menepuk pundakku pelan, "Good job, Sacagawea."
Di seberang, Iftar berdiri dengan pandangan yang terus tertuju padaku. Setelah Ferdy pergi, dia berbisik pelan di telingaku, "Sacagawea?."
"Pahlawan perempuan Indian," jawabku.
"Aku tahu siapa Sacagawea. Tapi, kenapa dia harus memanggilmu dengan sebutan itu ?." Ada sedikit rasa cemburu dalam suaranya. Kubiarkan sensasi itu lewat sebentar sebelum kutepis cepat.
Sebelum pergi, Ferdy menyampaikan kalau tidak ada kabar dari Mila. Berita ini membuat Iftar makin murung. Setelah Ferdy pergi, kugenggam tangannya dan kubisikkan di telinganya kalau Mila baik-baik saja, walaupun aku sendiri tak yakin. Seperti halnya aku tak yakin pada perasaanku yang mengatakan semua akan baik-baik saja di antara kami berdua. Iftar juga tampaknya tak percaya.
Iftar seperti angin yang datang dan pergi. Tak banyak yang bisa menebak apa yang berkecamuk di hatinya. Cukup bagiku hanya duduk diam di sisinya. Kata-kata tidak begitu dibutuhkan di saat seperti ini. Aku suka berbagi kesunyian dengannya.
Lima tahun kami bekerja sama dalam sebuah lembaga yang menolong anak-anak di pedesaan. Bagi ratusan anak, Iftar adalah seorang pahlawan. Bagiku, dia adalah inspirasi. Aku mengaguminya. Tapi, aku tidak ingin melukainya. Tidak ingin mencelakai dia dan keluarganya. Aku ingin dia lebih bahagia lagi bersama keluarganya. Rasa cintaku datang bersama rasa sakit yang luar biasa.
Malam itu, dalam remang cahaya bulan, kucium keningnya. Kuucapkan selamat tinggal. Aku akan pulang lebih dulu ke Jakarta. Kuputuskan begitu karena lebih lama tinggal bersama Iftar artinya lebih sulit lagi untuk bisa melepaskannya.
Kami akan bertemu lagi di Bandung, tapi kuharap situasinya akan berbeda. Iftar perlu bertemu istrinya dan harus memeluk anaknya. Saat itulah dia bisa mengingatku lagi sebagai seorang sahabat. Tidak lebih.
Cara satu-satunya menemukan kesejatian adalah melalui api ujian dan penderitaan
Sudah dua hari Iftar menghilang. Tak ada yang tahu dia di mana. Terakhir kali beberapa teman di basecamp Temanggung melihatnya naik mobil tengah malam. Setelah itu tak ada kabar berita. Hampir setengah isi kantor Bandung ada di Temanggung saat ini. Heni juga di sana. Semuanya menunggu tim yang turun mencari Iftar di beberapa titik, termasuk Desa Kledung, rumah orang tua Mila.
Tidak ada yang bisa kulakukan di saat seperti ini selain berdoa. Aku menangis sedikit. Lalu berdoa. Betapa inginnya aku bersamanya saat ini. Aku sangat merindukannya. Rindu yang kembali membuat kepalaku pening. Pening karena kenyataannya tidak ada seorang pun yang tahu di mana Iftar berada. Sesak, karena jika ada orang yang paling pantas untuk bersama Iftar, itu adalah Heni, istrinya, dan bukan aku.
"Dia pasti baik-baik saja." Aku terjaga dan membuka mata. Heni berdiri di sampingku dengan secangkir kopi di tangannya. Wajahnya terlihat kurang tidur. Dia pasti terjaga semalaman menunggu kabar.
"Ya. Kuharap begitu," jawabku pelan. Kugeser sedikit badanku memberikan tempat untuknya duduk.
Dia menggeleng. "Aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ada presentasi penting besok siang, aku harus segera kembali ke Bandung sore ini."
Dalam kebingungan, kupandangi ia setengah tak percaya. Sepotong kabar pun tentang Iftar belum kami terima, bagaimana mungkin dia bisa pergi begitu saja?.
Heni tersenyum sambil menyentuh lenganku pelan. "Iftar punya kau di sini. Itu yang diperlukannya."
Heni meninggalkanku sendirian, bingung dan ketakutan.
Entah berapa lama aku jatuh tertidur di bawah pohon. Nurul membangunkanku. Mereka sudah menemukannya. Itu kata Nurul, sebelum dia pergi lagi. Aku berdiri dan melangkah mengikutinya dari belakang.
Kamar tempat Iftar beristirahat sudah mulai lengang. Dari kejauhan kulihat Heni meninggalkan kamar menjinjing Power Book Apple dan koper. Kuberikan isyarat pada Ferdy di teras. Dia mengangguk dan mempersilakan aku masuk.
Iftar dibaringkan di atas tempat tidur. Kemejanya sudah diganti. Wajahnya penuh memar. Sebuah jahitan menyilang di atas bibirnya. Dari berita yang kudengar, dia pergi mencari Mila. Beberapa preman menghentikannya secara paksa. Membuat Iftar babak belur dan meninggalkannya tak sadarkan diri di tengah hutan.
Aku tahu aku tidak boleh melakukan ini, tapi kubiarkan juga tanganku menyentuh wajahnya. Jariku bergerak menyentuh bibirnya dan akhirnya kubelai rambutnya. Saat pintu terbuka dan Heni masuk, aku menarik tanganku dan menyeka air mata yang jatuh ke pipi. Kulakukan semuanya dengan cepat.
Heni berdiri di sisiku. Kami terdiam beberapa saat. Keheningan yang aneh. Kudengar Heni menghela napas panjang.
"Ini tidak menjadi bagian dari risiko pekerjaan, bukan?."
Aku tahu pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban, retorik. Aku tahu Heni beberapa kali sudah meminta Iftar mencari pekerjaan baru. Pekerjaan ini begitu menyita waktu dan perhatiannya. Membawanya menjauh dari keluarga, secara fisik dan emosi.
"Minggu lalu kami bertengkar lagi. Dia ada bersama kami, tapi pikirannya berada jauh di tempat lain. Pasti pekerjaan. Kuminta dia mengundurkan diri. Kau tahu apa jawabannya?," Heni menoleh memandangku. Belum sempat kujawab, dia meneruskan, "Andai saja kau bisa lebih mengerti aku seperti Mayang."
Aku tersentak. Jantungku berdebar kencang.
"Waktu baru tiba di sini, dalam tidurnya dia memanggil-manggil namamu. Namamu, Mayang. Dan bukan namaku."
"Kuharap itu bukan berarti apa-apa," Ujarku.
"Kuharap juga begitu. Tapi, kulihat air matamu pagi tadi. Aku tahu, apa yang terjadi di antara kalian adalah sesuatu yang tidak dibuat-buat. Aku tidak bisa menangis sejak hari pertama tiba di sini. Bukankah itu aneh?."
"Kau tertekan, kau khawatir menunggu suamimu, itu penjelasan yang paling masuk akal," sahutku, mencoba menyanggah.
Heni tetap menggeleng. "Kau mencintainya lebih dari cintaku kepadanya. Dan dia mencintaimu lebih dari cintanya kepadaku."
Kutarik napasku berat, "Ya, aku mencintai Iftar. Tapi, kau adalah istrinya. Kau miliknya. Dia milikmu. Tidak seorang pun bisa melakukan apa pun untuk memisahkan kalian. Tidak juga aku. Jangan izinkan seorang pun membawa pergi orang yang kau cintai, Hen."
"Tapi, dia mencintaimu, Mayang. Sangat mencintaimu." Heni menangis pelan.
"Jika aku tidak ada di sekitarnya, cinta itu akan pudar dengan sendirinya."
Aku memeluk Heni sebelum meninggalkan mereka berdua, "Kebahagiaan kalian adalah segalanya."
"Sampaikan salamku pada Iftar," Tukasku berpesan, sebelum menutup pintu dan mengemasi baju, Power Book Apple dan smartphoneku.
Memang benar, segala sesuatu harus dialami untuk bisa dimengerti. Dalam kereta yang membawaku pulang ke Bandung, aku bersyukur dalam hati untuk cintaku pada Iftar. Bukan untuk disesali. Ternyata aku bisa mencintai dalam kapasitas yang lebih tinggi, bukan hanya untuk memiliki, tapi sebuah cinta yang bisa melepaskan demi sebuah kebahagiaan, kebahagiaan orang yang kucintai.
Semoga Heni mengerti hal ini. Semoga dia menemukan cintanya yang sejati melalui ujian cintanya bersama Iftar. Dan aku, aku sudah menemukan yang kucari… cintaku tak harus memilikimu.
Aku akan segera terbang ke Mentawai untuk menemani Ferdy dan timnya di sana selama dua tahun ke depan. Kalau ada waktu terbaik untuk berharap pada diriku sendiri, inilah saatnya. Aku berharap bisa melupakan Iftar. Meski kutahu, harapan itu mungkin tak akan pernah terjadi.
Pekanbaru, 2015
Penulis: Khairul Azzam Elmaliky
Editor : Hendra Gunawan
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.