Tertipu Kedai Nasi Ampera

Sewaktu saya masih tinggal di Jakarta dahulu dan kemudian merantau menjelajahi wilayah seputaran Jalur Pantura, Warteg atau Warung Tegal adalah idola sekaligus andalan utama dalam memenuhi keperluan makan sehari-hari saya.

Warung makan murah meriah ini adalah dewa penyelamat di saat-saat kritis terutama ketika memasuki tanggal-tanggal tua atau ketika isi dompet tebalnya hanya dipenuhi oleh kertas-kertas kas bon.

Oleh karenanya, ketika kemudian saya terpaksa meninggalkan Pulau Jawa, kembali ke tanah leluhur saya, Pulau Sumatera dan mendarat di kota yang juga menjadi ibu kota sebuah Provinsi, saya agak risau. Ternyata di kota yang memiliki julukan "Kota Bertuah" ini saya sama sekali tidak menemukan keberadaan satupun Warteg!.

Bagaimana tidak risau ?. Sebagai seorang pendatang yang bermaksud merintis kehidupan baru di kota yang baru, tentu saja pada awal-awalnya, kondisi saya terutama kondisi keuangan, pastilah masih morat-marit. Nah... dalam kondisi seperti itu, adanya sebuah warung makan yang murah meriah seperti Warteg tentu akan menjadi dewa penolong.

Namun menelisik lebih jauh, meskipun tidak persis sama, saya akhirnya menemukan juga warung makan yang kira-kira sedikit mirip dengan Warteg (dalam hal harga). Namanya Kedai Nasi Ampera.

Kedai nasi ampera adalah warung makan yang penampilan dan susunan pajangan lauk pauk di etalasenya mirip dengan Restoran atau Rumah Makan Padang, tetapi harganya lebih bersahabat (tetapi tetap lebih mahal dari Warteg). Kalau diberikan peringkat, kedai nasi ampera berada di posisi pertengahan. Dia berada dibawah Restoran/Rumah Makan Padang namun diatas Warteg.

Beberapa tahun kemudian, meskipun ketika saya mulai membangun sebuah keluarga, kedai nasi ampera yang begitu akrab dengan saya selama masa-masa menjomblo, tidaklah terlupakan begitu saja. Ada saat-saat tertentu, misalnya ketika tugas luar kota atau tugas lembur sampai malam di kantor, Kedai nasi ampera menjadi penyelamat saya dari tuntutan para penghuni kampung tengah.

Namun seperti ujar-ujar yang sering disebutkan orang : "Dalam satu keranjang buah, tidaklah mungkin semuanya bagus. Pasti ada yang busuk". Kedai nasi ampera yang andalan utamanya adalah harga makanannya yang murah (itu menurut ukuran kota kami, yang masuk peringkat 10 besar kota paling mahal di Indonesia) ternyata tidak luput dari anomali.

Suatu hari, karena kesibukannya, orang rumah tidak sempat membuatkan saya bekal makan siang seperti biasanya. Oleh karenanya begitu masuk jam istirahat makan siang, saya dan beberapa rekan sekantor langsung pergi menuju kedai nasi ampera Bang Redi, kedai nasi langganan karyawan-karyawan komplek perkantoran yang terletak diseberang jalan.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, tanda-tanda ketidak beruntungan tampaknya mulai mengintip. Kedai Bang Redi hari itu tutup karena dia sedang pulang kampung.

Selanjutnya kami beranjak mencari-cari kedai nasi yang lain. Setelah berputar-putar dengan honda menyusuri beberapa jalan lingkungan sekitar komplek perkantoran, kami menemukan beberapa kedai nasi, tapi enggan kami singgahi karena kedai-kedai nasi tersebut terlihat kurang bersih, kusam dan tidak terawat. Sampai akhirnya kami menemukan juga sebuah kedai nasi lainnya yang kondisinya terang dan bersih. Maka masuklah kami kedalamnya dan memesan makanan.

Ditengah-tengah menikmati makan siang itu, kami merasakan keadaan tidak biasa yang langsung kami bicarakan saat itu juga.

"Ehh... ini nasi, lauk sama sambalnya enak juga, yaa...," kata saya.

"Iyaa, pak... enak," kata Zul dari bagian Marketing.

"Sepertinya lebih enak dari masakannya Bang Redi," balas Mulyadi dari bagian Gudang.

"Iyaa... memang lebih enak dari Bang Redi. Tempatnya juga bersih," tukas Nur dari bagian Show Room sambil melayangkan pandangan ke sekeliling ruang kedai nasi.

Sayapun ikut melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan dan ikut mengakui bahwa kedai ini memang tampak bersih dan rapi. Sepertinya ini kedai nasi baru, karena cat tembok maupun cat meja-kursinya tampak masih mengkilat.

Usai makan, kami tidak langsung pergi melainkan duduk-duduk dahulu sejenak untuk menurunkan nasi. Sambil membicarakan beberapa urusan kantor, sekilas saya perhatikan juga bahwa kedai nasi ini lumayan laris. Itu kalau dilihat dari banyaknya pengunjung yang makan siang atau memesan nasi bungkus.

Begitu waktu untuk istirahat kami rasakan cukup, saya segera mengumpulkan uang dari yang lain sejumlah perkiraan harga makanan yang sudah kami makan dan beranjak ke meja kasir.

"Nasi empat, tambahnya tiga, teh es tiga, teh manis panas satu, pisang tiga, kerupuk tiga," kata saya.

"Lauknya apa saja, pak?," tanya kasir.

"Ayam goreng dua, nila goreng satu, gulai kepala patin satu," jawab saya.

Kasir kemudian menghitung-hitung dengan kalkulatornya, lalu berkata:

"Semuanya delapan puluh enam ribu, pak."

"Haahh... masak segitu?," saya terperangah mendengar jumlah harga yang disebutkan kasir dan bertanya.

"Iya, pak... ini rinciannya. Nasi empat, Rp. 48 ribu. Tambah tiga, Rp. 6 ribu. Teh es tiga, Teh manis satu, Rp. 20 ribu. Pisang tiga, Rp. 6 ribu. Kerupuk tiga, Rp. 6 ribu. Total Rp. 86 ribu."

"Tolong tuliskan rinciannya di kertas bon," kata saya.

"Baik, pak," jawab kasir.

Sementara kasir menuliskan rincian harga makanan yang sudah kami makan, saya menghitung kembali uang yang tadi dikumpulkan dan tentu saja jumlahnya pasti kurang dari yang disebutkan kasir karena kami semua menghitung harga makanannya dengan asumsi harga makanan disini sama dengan di kedai Bang Redi. Ternyata asumsi kami semua sama sekali keliru!.

"Ada apa, pak ?," tanya Zul yang mendekati saya karena agak heran melihat saya belum juga membayar di kasir dan beranjak pergi, malah tampak bingung.

"Ini, Zul... uang yang kita kumpulkan kurang," jawab saya.

"Kurang?, kok bisa?!," tanya Zul lagi dengan raut wajah terkejut.

"Ini pak... rincian bon makannya," sela kasir sambil memberikan kertas bon.

Saya mengambil kertas bon itu dan memperlihatkannya kepada Zul, dan dia langsung berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Karena uang yang kami kumpulkan cuma berjumlah Rp. 61.500,- sementara angka yang tertera di kertas bon itu Rp. 86 ribu, berarti ada selisih kekurangan Rp. 24.500,-.

"Yaa, sudah... biar saya yang tambahkan kurangnya, toh... tadi saya yang menunjuk kemari," kata saya yang langsung menyerahkan uang pembayaran makanan kami ke kasir.

Usai membayar, saya dan Zul keluar kedai menyusul Nur dan Mulyadi yang menunggu di tempat parkir dan selanjutnya beranjak pulang kembali ke kantor.

Sesampainya di kantor, kami dan beberapa karyawan lainnya merubungi kertas bon dari kedai nasi ampera tempat kami baru saja makan siang dan membandingkan harga-harganya dengan harga makanan di tempat Bang Redi.

"Nasi empat, Rp. 48 ribu ?. Berarti seporsi Rp. 12 ribu. Gila aja, lagi...!. di tempat Bang Redi saja cuma Rp. 8 ribu!. Memangnya dia restoran Kota Buana apa?!," gerutu Zul.

"Ini lagi... masa nasi tambuhnya, Rp. 2 ribu sepiring?, padahal di tempat Bang Redi cuma seribu," tambah Mulyadi.

"Ini juga... masak pisangnya Rp. 2 ribu sebiji?, memangnya pisang apa, sih... yang kamu makan?," tanya seorang karyawan gudang kepada Mulyadi.

"Kayaknya pisang raja. Tapi di tempat bang Redi pisangnya juga pisang raja, trus harganya cuma seribu."

Masih banyak lagi komentar-komentar diberikan menanggapi harga-harga makanan yang tertera di kertas bon yang kami bawa. Ada juga yang menanyakan dimana kedai nasi ampera itu berada dengan maksud TIDAK AKAN PERNAH PERGI MAKAN KESANA!!.

"Jadi kesimpulannya..., " ujar saya mengakhiri pembicaraan karena waktu istirahat siang sudah habis, "Hari ini kita rupanya sudah tertipu. Maksud hati makan di kedai nasi ampera, tidak tahunya digetok harga Kota Buana."

"Biarpun rasa makanannya lebih enak dibanding yang di kedai Bang Redi, tapi kalau memang mau buat Rumah Makan atau Restoran, yaaa... tulislah di plangnya "Rumah Makan atau Restoran". Jangan seperti bunglon begini, namanya kedai nasi ampera... tapi harganya, harga Restoran!."


Kampung tengah: perut.
Anomali: Keanehan, Keadaan yang tidak biasa.
Honda : Istilah umum untuk sepeda motor, apapun merek dan typenya.
Menurunkan Nasi: Istilah untuk isirahat/duduk-duduk sejenak setelah makan.
Restoran Sederhana: Restoran/Rumah Makan yang sangat terkenal di kota kami. Harga makanannya diatas rata-rata, tapi rasa makanannya juga diatas rata-rata.
Nasi Tambuh: Nasi tambah.

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar

1Komentar

  1. Wah... Lain x hrs tanya hrgnya. Jadi makanpun tenang. Tks infonya bang

    BalasHapus

Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)