Kejarlah Daku Kau Ku Kuras (Eps.6)

"Forget it !. Tas aku, semuanya ada disitu. Dompet, hape, display map, tablet, kalkulator, mukena," ketus Desmita.

"Oke... kita ambil. Dimana tas kamu itu ditinggalin ?," tanya Angga.

"Di tempat pi... ehh, di tempat kamu pertama kali liat aku tadi waktu dikejar-kejar tawon," jawab Desmita.

"Oooo... disitu," ujar Angga.

Merekapun melangkah pergi dari tepi empang menuju simpang jalan angkong. Begitu sampai, mereka menyusuri jalan itu hingga dari kejauhan tampaklah tas Desmita yang tergantung di semak-semak. Namun ada sedikit masalah.

"Sial...!," desis Angga ketika melihat tempat tas Desmita tergantung dikerumuni banyak lebah.

"Sial...!," kembali Angga mendesis. "Apa boleh buat. Ini satu-satunya cara."

Angga lalu membungkuk dan mengambil tanah kemudian mencampurnya dengan genangan air bekas hujan. Setelah mengaduk-aduknya, Angga lalu membalurkan tanah yang sudah berupa lumpur itu ke tangan, muka dan bagian-bagian lain tubuhnya yang terbuka.

"Mas... lagi ngapain ?," tanya Desmita keheranan. "Kok... main lumpur ?, bukannya ngambilin tas aku ?."

Meskipun jengkel mendengar omongan Desmita, tak pelak Angga sempat tersenyum kecil - Ahhh... aku di panggil 'mas', katanya dalam hati.

"Kamu nggak tahu, yaa... lebah itu setengah buta. Dia bisa liat jelas cuma satu meteran didepan hidungnya. Tapi penciuman lebah sangat tajam. Dia bisa mencium bau bunga dari jarak satu kilometer !. Tawon-tawon tadi pasti ingat bau kita yang dianggap musuhnya. Naahh... supaya bisa ngedekatin tas kamu itu, bau badan kita harus disamarkan," jelas Angga panjang lebar.

"Kamu juga. Pasang lumpur ini ke tangan, leher, dan muka kamu," kata Angga selanjutnya.

"Nggak mau !, jorok !," sergah Desmita sewot.

"Terserah !. Kalo nanti kamu disengat lagi, jangan nangis or mewek-mewek !," balas Angga.

Uhhh... rasanya seperti mengalami Deja Vu. Tadi Desmita disuruh lompat ke empang. Sekarang disuruh luluran lumpur !. Meskipun dengan muka cemberut, Desmita membalurkan juga lumpur itu ke tangan, leher, dan wajahnya namun tipis-tipis saja, tidak setebal Angga.

"Kamu tunggu disini," pesan Angga yang lalu pelan-pelan melangkah.

Dengan pelan serta hati-hati agar tidak mengusik perhatian lebah-lebah itu, Angga melangkah mendekati tempat tas Desmita tergantung lalu mengambilnya. Kemudian dengan langkah yang sama pelan dan hati-hati, Angga kembali ke tempat Desmita yang menunggu dengan hati berdebar-debar.

"Ini tas kamu," kata Angga menyerahkan tas itu kepada Desmita.

Setelah yakin kalau isi tasnya masih lengkap, Desmita melangkah pergi mengikuti Angga yang berjalan didepannya. Tidak lama kemudian merekapun keluar dari jalan angkong, ke jalur 9 tempat awal Desmita prospek tadi. Tidak jauh dari situ parkir sebuah motor bebek yang sudah tidak ketahuan apa merk dan modelnya lagi karena sudah di trondol habis tinggal rangka, mesin, jok dan ban, tanpa lampu-lampu.

"Motor apa ini ?, memangnya masih bisa jalan ?," ujar Desmita mengejek bentuk motor yang sudah tidak karu-karuan lagi itu.

"Nggak usah ngehina begitu... kalau kamu mau, aku sanggup ngantar kamu ke Pekanbaru pakai motor ini. Sama juga manusia, jangan silau sama penampilan," balas Angga.

Mendengar perkataan Angga, Desmita cuma mengangkat bahu masa bodoh. Memangnya aku salah ?. Motor ini emang udah jelek banget, kok...! - kata Desmita dalam hati.

Tanpa banyak bicara lagi Angga dan Desmita berangkat menuju SP 3. Sepanjang jalan poros yang menghubungkan SP 2 dgn SP 3, Desmita sempat melihat beberapa orang rekannya sesama sales sedang mengukur jalan. Beberapa melambaikan tangannya dengan tampang takjub melihat penampilan Desmita.

Memasuki SP 3, Angga memperlambat motornya hingga kemudian sampailah mereka di sebuah rumah megah berhalaman luas. Di halaman itu tampak kesibukan orang membongkar-muat serta menimbang tandan-tandan kelapa sawit. Di depan pintu rumah mereka di sambut seorang wanita gemuk berusia pertengahan lima puluh.

"Oaaalaaah... nduk... Kamu kenapa ?," tanyanya.

"Wes nyemplung karo aku neng empange mbah roto," jawab Angga cuek sambil terus masuk kedalam rumah.

"Lambemu iku, sekali-kali di jaga napa, cah gendheng...!," seru wanita yang menurut tebakan Desmita adalah ibunya Angga.

"Mari... cah ayu, masuk kedalam," ajak si ibu.

"Terima kasih, bu...," kata Desmita.

Wes nyemplung karo aku neng empange mbah roto : Habis terjun bersama saya ke kolamnya mbah roto.
Lambemu iku : Mulutmu itu.
Cah Gendheng : Sebutan untu anak laki-laki yang nakalnya kelewatan.
Cah Ayu : 1. Panggilan sayang kepada anak perempuan.2. Anak perempuan yang berwajah manis.

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar