Ketika Seribu Tidak Lagi Diterima

Uang Seribu Rupiah
Ini adalah pengalaman seorang teman. Ketika dia menceritakan pengalamannya itu kepada saya, saya langsung tertawa terbahak-bahak sambil menyumpah-nyumpah.

Kenapa bisa begitu ?.

Begini ceritanya...

Suatu malam, teman saya dan keluarganya makan-makan di sebuah cafe tenda yang menyediakan bermacam-macam hidangan dan minuman seperti nasi goreng, mie goreng, mie rebus, aneka jus, dll... (di kota saya, cafe tenda ini disebut juga kedai Cikapunduang).

Ketika tengah asyik menikmati hidangan, datanglah seorang pengemis. Semula tidak ada yang aneh dari pengemis itu. Sambil menadahkan tangan dan komat-kamit mengiba-iba, dia menghampiri satu persatu meja-meja yang ada pengunjungnya. Dan seperti biasanya pula, ada yang memberi ada pula hanya bisa memberikan kata "maaf...".

Kemudian sampailah pengemis itu ke sebuah meja yang tidak jauh dari meja tempat teman saya dan keluarganya duduk. Tamu yang semula duduk di meja itu, sepasang muda-mudi, rupanya sudah selesai makan dan beranjak hendak pergi. Sebelum pergi, sang pemuda tampak memberi sedekah kepada si pengemis. Teman saya yang kebetulan melihat kearah mereka, terheran-heran menyaksikan tingkah si pengemis yang terdiam setelah menerima pemberian si pemuda.

Begitu sepasang muda-mudi itu keluar dari kedai cikapunduang tersebut, dengan tampang menghina dan nada suara melecehkan, si pengemis melambai-lambaikan uang pemberian si pemuda barusan kepada semua pengunjung, sambil berkata:

"Lihat, ini... cuma seribu. Seribuuuu.... haaahh... gayanya saja kayak orang kaya, ngasihnya cuma seribuuuu... seribuuuuu....!."

Semua pengunjung yang ada di kedai langsung terdiam mendengar ucapan si pengemis. Beberapa orang memperlihatkan wajah muak, sementara yang lain seperti tampak menyesal telah memberi. Setelah si pengemis keluar dari kedai, ramailah orang menggunjingkan dia. Ada yang menyumpah-nyumpah, ada pula yang hanya tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Mendengar cerita teman saya itu, saya langsung tertawa terpingkal-pingkal. Apalagi saat melihat roman mukanya yang nampak kesal sekali. Teman saya itupun ikut tertawa dan menyumpahi kedegilan si pengemis.

"Gara-gara itu, aku jadi malas ngasih dia sedekah. Padahal sudah aku siapkan. Kata istri aku, "Jangan dikasih, pa... tukang minta-minta aja, degil begitu," ujar teman saya.

Mengingat pengalaman saya yang sudah-sudah (baca juga: Suatu Sore Di lampu Merah ), saya kemudian bertanya:

"Pengemis itu sudah tua atau masih muda. Buta atau tidak?,"

"Masih muda dan nggak buta," jawab teman saya. "Tapi dia memang pakai kruk (tongkat bantu berjalan). Cuma aku curiga, benaran cacat atau tidak, karena badannya sehat begitu, trus cara jalannya juga aneh, macam dibuat-buat," lanjut teman saya.

Kamipun saling berbagi cerita tentang sudah berapa kali menemui pengemis yang sebenarnya tidak lebih dari seorang penipu. Pengemis yang ternyata orang kaya di kampungnya dari hasil mengemis. Juga membahas bahwa jaman sekarang ternyata jargon "jangan lihat berapa jumlahnya tetapi lihat keikhlasannya" dalam memberi sedekah atau sesuatu tidak berlaku lagi karena kaum pengemispun sepertinya telah menetapkan tarif tertentu.

Terakhir iseng-iseng saya bertanya:

"Jadi, gara-gara diremehkan begitu, kamu batal ngasih uang sama pengemis itu. Memangnya tadinya kamu mau kasih dia berapa?."

"Seribu."

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar

0Komentar