Hal ini sering menjadi kendala saat saya harus melembur di kantor yang terkadang sampai larut malam.
Opsi yang saya pilih adalah makan malam sesuai jadwal di kedai nasi ampera dekat komplek perkantoran demi menenangkan 'orkestra perut' supaya tidak terlalu gaduh.
Meskipun sudah makan, nantinya begitu pulang dan sampai di rumah, saya tetap harus makan lagi. Karena kalau tidak... bakal ada kejadian panci melayang ke jidat diiringi lagu dangdut... "Semalam makan dimana ?... Semalam minum dimana ?... Semalam duduk dimana ?... Abaaaang..."
Demikianlah suatu kali saya harus melembur di kantor. Begitu sudah masuk waktu makan malam, perut saya membunyikan alarm. Apa boleh buat, daripada merajuk terus, lebih baik saya turuti saja apa kemauan 'kampung tengah' ini. Maka sayapun sementara menyudahi kerja dan keluar menuju kedai nasi ampera langganan yang terletak di tepi jalan besar diseberang komplek perkantoran.
Sesampainya disana, seperti biasanya saya memesan seporsi nasi ramas lengkap dengan lauk kesukaan saya. Kemudian tanpa banyak basa basi, diselingi do'a hendak makan, sayapun segera menyantap hidangan yang tersedia.
Ketika tengah asyik menikmati makan malam inilah, dari arah muka kedai munculah seorang wanita muda yang menggendong seorang anak laki-laki berusia kira-kira dua tahun lebih. Dari penampakan pertama saya langsung menduga, wanita muda ini kalau bukan pengemis, mungkin pengamen. Ternyata dugaan saya tidak meleset.
Setelah menurunkan anaknya dari gendongan, si wanita muda itupun berdiri di depan para pengunjung kedai nasi sambil memberi kata sambutan:
"Selamat malam, bapak, ibu, abang, kakak, adek sekalian. Idzinkanlah saya menemani santap malam bapak, ibu, abang, kakak, adek sekalian dengan beberapa buah lagu yang semoga dapat menghibur, bapak, ibu, abang, kakak, adek sekalian..."
Yupz !. Seperti dugaan saya, wanita muda ini adalah pengamen jalanan. Tetapi saya agak heran. Kalau memang dia pengamen, mana alat musiknya ?!. Saya tidak melihat dia membawa alat musik yang biasanya dibawa oleh para pengamen seperti gitar, ukulele, gendang ataupun sekedar kecrekan yang terbuat dari kumpulan tutup botol.
Keheranan saya terjawab ketika wanita muda ini mulai menyanyi diiringi tepuk tangan. Oooo... itu rupanya alat musiknya. Musik tepuk tangan.
Sayangnya, belum satu lagu selesai dinyanyikan, telinga saya rasanya seperti berkesat. Bukan saja karena suara wanita muda ini sungguh jauh dari kategori 'merdu', cara dia menyanyikan lagupun bisa dikatakan nadanya lari kemana-mana alias fals abiss.
Saya ingat sekali, ketika itu dia menyanyikan lagu 'Lumpuhkan Ingatanku' dari Geisha, yang membuat telinga saya ikut-ikutan 'lumpuh', dan apabila didengar oleh Momo 'Geisha', pasti dia akan menangis tersedu-sedu karena lagu ciptaannya hancur lebur!.
Siksaan bagi telinga saya (dan pengunjung kedai lainnya) rupanya belum berakhir. Usai lagu pertama disambung lagu kedua (saya tidak tahu lagu apa dan siapa penyanyi aslinya) yang sama'mengharukannya', membuat sayapun ingin menangis tersedu-sedu seperti Momo 'Geisha' dan membuat rasa hidangan yang saya makan jadi hambar.
Alhamdulillah, rupanya wanita muda ini merasa dua lagu sudah cukup untuk menghibur para pengunjung kedai yang saya lihat banyak yang justru tidak merasa terhibur. Setelah kembali menggendong anaknya, satu persatu diapun menghampiri pengunjung sambil menyodorkan kantong bekas bungkus permen.
Seperti umumnya pengunjung lainnya, yang barangkali memberi sekedar sumbangan karena merasa kasihan melihat dia yang di usianya yang masih semuda itu sudah harus berjuang membesarkan anak, sayapun tergerak memberi sekedarnya, meskipun telinga saya masih terasa gatal-gatal.
Selanjutnya saya meneruskan acara makan malam yang tersendat tadi. Selesai makan, saya tidak langsung beranjak kembali ke kantor, tetapi duduk santai sambil beristirahat untuk 'menurunkan nasi'. Pada saat itulah, bang Redi, pemilik kedai nasi ampera, menghampiri dan duduk didepan saya. Bang Redi langsung tertawa terkekeh-kekeh begitu melihat saya.
"Kenapa, pak..?," tanya bang Redi. "Kenapa sejak tadi muka bapak seperti orang yang lagi menahan sembelit?."
"Entahlah, bang...," jawab saya. "Telinga saya masih berdenging gara-gara suara pengamen perempuan tadi."
"Oooo... pengamen tadi," kata bang Redi masih sambil terkekeh-kekeh. " Dia memang rutin mengamen kemari. Hampir setiap malam."
Sesaat saya terdiam lalu berkata:
"Tapi kasihan juga, yaa... di umur semuda itu sudah memiliki anak dan harus mencari nafkah untuk membesarkannya. Memangnya bapak anaknya itu kemana?, memangnya dia tidak punya suami sampai-sampai harus mengamen sendirian?."
"Dia itu punya suami, pak," jawab bang Redi. "Suaminya tidak kemana-mana, kok..."
"Punya suami?," tanya saya keheranan. "Lantas kenapa dibiarkannya saja istrinya mengamen sendirian?, malam-malam pula?."
"Entahlah, pak...," jawab bang Redi. " Yang jelas usai dia mengamen, nanti dijemput oleh suaminya pakai honda."
"Suaminya menjemput pakai honda?. Kalau memang bisa punya honda, kenapa pula mesti mengamen ?. Lagipula apa memangnya suaminya tidak punya pekerjaan sampai-sampai istrinya harus mengamen?," tanya penasaran.
"Tidak, pak. Suaminya pengangguran. Kalaupun kerja, kerja tidak jelas. Setiap hari kalau tidak tidur-tiduran di rumah, paling berputar-putar dengan hondanya ke kedai-kedai kopi. Istrinya itulah yang mencari nafkah untuk anak dan suaminya dengan mengamen setiap malam. Hasilnya untuk makan, membayar sewa rumah dan membayar cicilan honda mereka," jawab bang Redi.
"Luar biasa," kata saya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Darimana abang tahu soal mereka sampai serinci itu?," tanya saya.
"Mereka tetangga saya," jawab bang Redi singkat.
Pembicaraan kami terputus karena ada pengunjung yang hendak membayar. Begitu bang Redi pergi, saya sedikit termenung merenungkan pembicaraan barusan. Bagi saya sungguh tidak masuk akal ada suami yang menyuruh istrinya mencari nafkah sementara dia sendiri ongkang-ongkang kaki.
Teganya dia membiarkan istri dan anaknya berkeliling dari satu kedai ke kedai lainnya setiap hari, didera angin malam dan asap kendaraan bermotor.
Yang lebih saya herankan, berapalah hasil mengamen tiap malam?. Mungkin hanya cukup untuk makan dan membayar sewa rumah, belum lagi biaya anak yang pasti tidak sedikit. Tetapi sudah begitu masih nekat juga mengambil kredit honda!. Luar biasa!. Benar-benar luar biasa!!. Luar biasa bebalnya!!!.
Note: Didaerah saya, Honda merupakan sebutan umum untuk menyebut semua sepeda motor. Apapun jenis dan mereknya.
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)