Suatu malam, setelah seharian menjalani rapat yang melelahkan dengan owner perusahaan, saya dan beberapa rekan sekantor mampir dahulu di sebuah Pujasera untuk bersantai sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Ketika tengah asyik menikmati hidangan sambil membahas hasil rapat tadi, datanglah memasuki Pujasera dua orang anak. Yang perempuan berusia kira-kira sembilan tahunan, sedangkan yang laki-laki berusia sekitar lima tahunan. Dari gerak-geriknya tampaknya mereka bersaudara kakak beradik. Dan meskipun pakaian keduanya sudah kehilangan warnanya namun tampak bersih.
Satu persatu meja-meja pengunjung Pujasera dihampiri oleh keduanya sambil menyodorkan ember kecil berwarna merah yang mereka bawa. Di dalam ember itu ada selembar kertas yang sudah dilaminating namun terlihat lusuh.
Tak banyak yang dilakukan oleh sang kakak selain memandang para tamu dengan wajah memelas, sementara adiknya lebih asyik melihat-lihat berkeliling kemudian terpaku menonton televisi yang sedang menayangkan sebuah film kungfu sambil diseret-seret oleh sang kakak.
Akhirnya sampailah mereka ke meja kami. Selama beberapa saat sang kakak hanya diam memandang kami semua sambil menyodorkan ember merahnya. Meskipun memasang wajah memelas, tetapi bibirnya tersenyum-senyum kecil seakan ada sesuatu hal yang dirasakannya lucu.
Beberapa orang rekan sekerja saya ada yang langsung memberi sekedarnya yang langsung dimasukkan ke ember merah yang dipegangnya. Sementara saya sebaliknya memperhatikan dengan penuh minat, menebak-nebak makna senyum-senyum kecilnya sang kakak.
Kemudian tanpa basa-basi saya langsung bertanya kepadanya:
"Kamu kenapa minta-minta?."
"Kami anak yatim, Oom," jawabnya.
"Oooo... jadi kalian anak yatim?," tanya saya.
"Iya, Oom..." jawab sang kakak.
"Benar?," tanya saya lebih lanjut.
Sang kakak tidak menjawab, hanya mengangguk. Sementara adik kecilnya mulai memperhatikan saya. Selanjutnya saya kembali bertanya:
"Kamu setiap kali minta-minta berapa setorannya?."
Kali ini sang kakak seperti terkejut. Hilang sudah senyum-senyum kecil yang sejak tadi disimpulkannya. Sebaliknya dia mulai tampak gelisah, apalagi ketika rekan-rekan saya ikut pula menyimak pembicaraan kami. Dengan tergesa-gesa dia hendak menarik tangan adiknya untuk pergi, tetapi saya tahan.
"Jangan pergi dulu. Jawab dulu pertanyaan saya, nanti saya kasih kamu uang banyak," kata saya.
Sang kakak tetap bergeming oleh bujukan saya, namun secara mengejutkan adiknyalah yang menjawab:
"Tiga puluh ribu, Oom...!," kata si kecil.
"Ohh, begitu," ujar saya. "Jadi kalau kalian dapat lima puluh ribu, disetor tiga puluh ribu, sisanya dua puluh ribu untuk kalian?."
Sang adik mengangguk-angguk dengan wajah polosnya.
"Lantas, yang dua puluh ribu itu kamu kasih siapa?," tanya saya kepada sang adik.
"Sama bapak!," jawabnya.
Seketika terdengar suara helaan nafas disekeliling meja kami. Rekan-rekan saya menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah prihatin. Dan seperti janji semula, saya kemudian mengeluarkan dompet dan mengambil selembar uang yang lumayan besar nominalnya, lalu menyelipkannya ke tangan sang adik.
"Saya suka kejujuran kamu. Ini untuk kamu dan kakak kamu. Simpan baik-baik. Jangan kasih bapak, yaaa..." kata saya.
Sang adik mengangguk dengan wajah gembira karena melihat warna cerah dari uang yang saya selipkan ke tangannya. Sementara sang kakak justru tampak cemberut. Selanjutnya mereka berduapun keluar dari Pujasera.
Rekan-rekan sekerja saya masih menggeleng-geleng takjub atas kejadian yang baru saja mereka saksikan, lalu salah seorangnya berkata:
"Kalau abang tadi nggak nanya soal setoran, kami nggak bakal tahu kalau ternyata mereka bukan anak yatim, tapi anak yang disuruh kerja sama bapaknya. Memangnya darimana abang tahu kalau mereka anak yatim wanna be?."
"Nggak dari mana-mana," jawab saya. "Tapi dulu saya pernah punya tetangga seperti mereka. Anak-anak yang disuruh minta-minta sama orang tuanya, sementara mereka sendiri asyik main domino di kedai kopi. Melihat gelagat bocah perempuan tadi, saya langsung ingat sama bekas tetangga saya itu. Jadi saya cuma nebak-nebak. Kebetulan saja tebakannya tepat."
Sesampainya di rumah, saya termenung sendiri. Entahlah, saya sendiri tidak habis fikir, mengapa ada orang tua yang dengan ringan hati memanfaatkan anak-anaknya untuk disuruh bekerja pada saat mereka seharusnya masih menikmati masa kecilnya. Jika alasannya karena belitan kemiskinan, sesungguhnya itu bukanlah alasan.
Tanggung jawab orang tua adalah memberi kehidupan, pendidikan yang baik kepada anak-anaknya. Ini adalah tanggung jawab yang tidak bisa tidak harus dipenuhi. Karena bagaimanapun anak adalah amanat yang diberikan oleh Tuhan dan amanat itu pasti akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat.
Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.
0Komentar
Maaf, Hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link iklan ilegal akan kami hapus. Terima kasih. (Admin)