Gara-Gara Fesbuk

gara-gara fesbook
Sudah dua minggu ini kami melihatnya i'tikaf di mesjid komplek perkantoran. Pada sholat dzuhur maupun ashar dia tak pernah luput berjam'ah.

Terkadang bila aku lemburan di kantor hingga ikut berjama'ah maghrib atau isya, dia juga selalu nampak seakan dirinya tak pernah beranjak dari mesjid.

Dari bisik-bisik yang lain aku mendapat rumor kalau dia 'orang stress'. Hanya saja bila benar begitu kenapa ghorim mesjid tidak mengusirnya?.

Lelaki setengah baya yang aku perkirakan berumur sekitar lima puluh tahunan itu, terkadang membuat kami terheran-heran karena begitu khusyuk serta rajinnya beribadah. Selain sholat wajib, dia tak pernah lupa menunaikan sholat sunnat qobliyah maupun ba'diyah. Ditambah cara berdo'a dan dzikirnya yang begitu panjang. Penasaran, akupun menanyakan hal dia kepada ghorim mesjid.

"Bapak itu siapa, tadz?. Apa dia tinggal disini?," tanyaku.

"Tidak tahu, pak," jawab ghorim. "Tidak, dia tidak tinggal di mesjid. Katanya, sih... dia orang stress," lanjutnya.

"Kalau memang stress, kenapa tidak disuruh pergi saja?. Kalau nanti ngamuk, bukannya bakal jadi repot," kataku lagi.

"Nggak, laah... kasihan. Nggak perlu sampai diusir. Lagipula dia sepertinya cuma stress karena punya masalah berat saja," jawab ghorim.

"Masalah apa, tadz?," tanyaku lagi.

"Entahlah. Saya tidak tahu dan dia juga tidak pernah cerita," ujar ghorim.

"Kalau tidak tinggal disini, malamnya dia tidur dimana?," tanyaku.

"Tidak tahu juga," jawab ghorim mesjid. "Cuma kalau mandi, BAB dan BAK, pagi atau sorenya di toilet mesjid," lanjutnya.

Percakapan aku dengan ghorim mesjid tidaklah terlalu menjadi perhatianku karena apapun itu selama dia tidak berbuat yang tidak-tidak di mesjid maka itu terserah kebijaksanaan pengurus dan ghorim mesjid yang membiarkan saja lelaki setengah baya itu.

Demikian keadaannya berlalu hingga suatu malam aku kembali melembur di kantor sampai ba'da maghrib. Karena waktunya tanggung untuk pulang maka aku putuskan untuk isya'an di mesjid. Selesai mengambil wudhu, aku memasuki mesjid yang sepi tidak ada orang. Sekilas aku lihat lelaki setengah baya itu tampak tertidur meringkuk di sudut.

Usai menunaikan sholat tahiyatul masjid, aku seperti mendengar suara orang merintih. Dan ketika kuperhatikan ternyata itu suara rintihan lelaki setengah baya yang tengah tidur meringkuk di sudut mesjid itu. Aku lalu menghampirinya dan betapa terkejutnya aku melihat badannya juga gemetar.

"Pak, kenapa?, sakit, yaa...?," tanyaku.

Lelaki setengah baya itu menengadahkan wajahnya dan Masya Allah!, wajahnya tampak begitu pucat.

"Tidak, bang," jawabnya.

"Kalau tidak sakit, kenapa wajah bapak pucat begini, gemetaran begini?," balasku.

Dia terdiam sejenak seperti tengah berfikir keras hendak berkata jujur atau tidak kepadaku, sementara badannya kian gemetar.

"Saya... saya... sudah tiga hari belum makan, bang," akhirnya dia menjawab juga.

"Astaghfirullah hal adziem!," aku berseru.

Mendengar pengakuannya, bangkit rasa ibaku. Seketika timbul niatanku untuk mengajaknya pergi makan malam. Hanya saja aku sempat berfikir sejenak, apakah sholat isya dulu?, atau langsung mengajaknya keluar?. Setelah menetapkan tindakanku, aku kemudian berkata:

"Bapak tunggu saya sholat isya dulu. Setelah itu bapak ikut saya. Kita makan!," ujarku kepadanya.

Lelaki setengah baya itupun hanya mengangguk lemah.

Usai sholat isya aku dan lelaki setengah baya itu berboncengan honda pergi ke kedai nasi ampera dekat kantor. Disana aku memesan dua porsi nasi ramas. Nampak sekali rasa segannya ketika dia makan karena begitu pelannya seakan hanya sepiring itulah jatah makanan yang dia dapatkan. Aku katakan untuk tidak sungkan-sungkan kalau mau nambah, namun dia menolak berbasa-basi. Akhirnya meskipun tanpa persetujuannyapun tetap pesankan nasi tambah.

Selesai makan aku tanyakan apakah dia merokok yang dijawab dengan anggukan malu-malu. Karena biasanya orang-orang tua merokoknya rokok kretek maka aku belikan dia sebungkus dji sam soe. Aku tertawa dalam hati melihat gaya merokok dia yang jelas sekali gaya seorang perokok berat karena begitu lihainya memainkan batang rokok. Dia bertanya apakah aku merokok?.

"Tidak," jawabku. "Saya sudah enam bulan berhenti merokok," sambungku lagi.

"Hebat. Abang bisa berhenti merokok," katanya kagum.

"Saya punya anak bayi dan anak-anak saya yang lainya juga masih kecil-kecil, tidak mungkin saya racuni mereka dengan asap rokok di rumah," jawabku memberi alasan.

Selanjutnya obrolan berputar sekitar siapa nama?, asal darimana?, dan basa-basi lainnya. Hingga terus terang aku tanyakan kenapa dia seperti tidak punya tempat tinggal karena seharian bisa terus-terusan ada di mesjid?.

Lelaki setengah baya itu termenung sejenak. Pandangannya seperti menerawang menggali masa silam. Tetapi alih-alih menjawab pertanyaanku kenapa dia seperti menggelandang, dia malah balik bertanya.

"Abang punya akun Facebook?."

"Punya. Memangnya kenapa?," jawabku sambil balik bertanya.

"Istri abang punya akun juga?," tanyanya lagi.

"Tidak. Dia tidak suka fesbuk-fesbukan." jawabku.


"Kenapa jangan?," tanyaku.

"Karena sudah banyak kejadian rumah tangga hancur gara-gara fesbuk!," jawabnya sambil menggebrak meja.

Setelah menggebrak meja dia terdiam sambil memandang lalu lintas malam di depan kedai nasi ampera. Aku juga ikut terdiam sambil mereka-reka maksud pernyataannya tadi. Apa mungkin?.

"Pak, ma'af kalau saya lancang. Boleh saya tahu?. Jangan-jangan bapak punya pengalaman buruk dengan fesbuk?," tanyaku coba menggali informasi.

"Yaa. Itulah, bang... kalau bukan gara-gara fesbuk, tidak mungkin aku jadi gelandangan begini!," jawabnya setengah menggeram.

Mendengar ucapannya, aku hanya diam sambil tersenyum seakan mendorongnya untuk bercerita lebih jauh lagi.

"Dua tahun lalu aku masih orang kaya. Aku punya perusahaan ekspedisi pelayaran dari Malaysia, Singapur, ke Batam dan ke Pekanbaru sini. Dahulu apa yang tidak aku punya. Sebut saja, mobil, honda, rumah, tanah semua aku punya. Istrikupun masih muda dan cantik. Kau lihat ini ada fotonya," katanya sambil mengeluarkan sehelai foto dari dompetnya.

"Waahh, tadinya dia ber 'abang-abang', ber 'saya-saya'... Sekarang ber 'aku-aku', ber 'kau-kau'," ujar batinku geli.

Aku lalu memperhatikan foto dia dan istri serta tiga orang anaknya yang mulai beranjak remaja.

"Hmmm, istri bapak tampaknya masih muda," komentarku.

"Yaa. Sekarang dia baru berumur 40 tahun. Aku beda 10 tahun dengan dia. Itu foto lima tahun yang lalu." katanya.

"PNS, pak?," tanyaku sambil menyerahkan kembali foto tersebut.

"Yaa. Dia PNS di Batam. Untuk mengusahakan dia jadi PNS saja aku harus keluar uang 100 juta lebih. Tapi sekarang apa?. Air susu di balas air tuba!. Dan itu semua gara-gara fesbuk sialan itu!!, " katanya bersungut-sungut.

Sesaat kemudian dia tampak termenung, lalu melanjutkan ceritanya namun dengan nada yang lebih pelan.

"Mungkin ini salah aku juga. Terlalu sibuk mencari uang sampai-sampai anak dan istriku terabaikan. Dulu karena pekerjaan aku sering mondar mandir Malaysia, Singapur, Batam, Pekanbaru, Tanjungpinang dan banyak lagi lainnya. Akibatnya istriku sering aku tinggal-tinggal. Rupanyanya untuk itulah sebagai hiburan dia main fesbukan. Lalu entah bagaimana caranya, dia dekat dengan salah seorang dari teman fesbuknya. Apa istilahnya sekarang?, ceting-ceting?!."

"Dari ceting-ceting itu, lalu berlanjut dengan ketemuan. Namanya kalau tidak salah, kopi darat. Terus begitu. Tahu-tahu mereka sudah pacaran. Aku curiga keparat itu hanya mengejar harta istriku saja karena selain lebih muda 8 tahun, kerjanya juga cuma buruh pabrik!," lanjutnya dengan nada keras.

"Kau tahu, waktu aku tahu istriku bergendak-gendakan dengan laki-laki a****g itu, aku marah sekali!. Tetapi istri durhaka itu malah membela dia!. Bahkan dia berani mengusirku dari rumahku sendiri. Kau bayangkanlah betapa sakitnya!," ujarnya sambil kembali menggebrak meja.

"Kenapa bisa di usir, pak?," tanyaku keheranan.

"Salah aku juga. Karena terlalu cinta. Semua harta kami atas nama dia. Rumah, mobil, honda, tanah, semuanya atas nama dia!. Lihatlah akibatnya sekarang aku tidak punya apa-apa lagi!," katanya sambil menghela nafas berat.

"Bagaimana dengan perusahaan bapak?."

"Bangkrut!!," katanya.

"Bangkrut?!," tanyaku.

"Ya!. Bangkrut karena aku tidak konsen lagi mengurusnya gara-gara masalah istriku!. Karena aku tidak konsen, anak buahku mengambil kesempatan jadi maling!. Rekan bisnisku menipu aku sampai milyaran!," katanya keras.

Setelah itu kami terdiam di gayuti pemikiran masing-masing. Aku teringat kepada istriku dan betapa akupun amat mencintai dirinya. Hanya saja, untungnya tidak seperti kecerobohan lelaki setengah baya ini, semua harta kami atas namaku pribadi. tetapi bagaimanapun juga, pengalaman buruk lelaki tua ini seakan menggugahku.

"Aku menggelandang di Pekanbaru ini karena ingin menghindari sidang perceraian. Kalau aku tidak hadir-hadir tentu putusan tidak bisa diambil," katanya melanjutkan kisahnya.

"Lho, apa istri bapak mengajukan gugatan cerai?," tanyaku.

"Yaa!," jawabnya. "Makanya aku lari kemari."

"Maaf, pak. Setahu saya dalam pengadilan ada yang namanya putusan in absentia," kataku.

"Apa itu?," tanyanya.

"Keputusan pengadilan yang tetap dijatuhkan meskipun salah satu fihak yang berperkara tidak pernah hadir," terangku.

"Maksud kau, meskipun aku tidak datang-datang ke pengadilan, putusan cerai tetap bisa di jatuhkan hakim, begitu?," tanyanya.

"Ya!," tegasku.

"Ahh, darimana pula kau tahu. Memangnya kau hakim atau pengacara?," gugatnya.

"Terserah percaya atau tidak. Itulah yang saya ketahui," jawabku.

Keningku berkerut mendengar ucapannya yang seperti meremehkan pemberitahuanku.

"Istriku minta cerai, tapi aku tak mau menceraikannya. Bagaimanapun aku masih cinta dia. Karena itulah aku tak pernah bosan-bosannya berdo'a agar Tuhan menunjukkan kebenaran bahwa yang dilakukannya itu salah. Kalau dia meminta aku jadi pegawai kantoran lagi yang masuk pagi pulang sore., hari libur di rumah. Aku bersedia. Tapi nyatanya dia tetap minta cerai juga!," katanya setengah mengeluh.

"Aku tahu maksudnya supaya dia bisa kawin sama gendaknya itu. Tapi sampai matipun aku tidak akan rela!. Bahkan jika iblis datang padaku menawarkan janji agar istriku bisa kembali kepadaku akan aku ambil tawaran itu!," katanya keras.

"Astaghfirullah hal 'adzieem!," seruku.

"Jangan kau kira aku tidak mau berbuat jahat. Itu kalau Tuhan tidak juga menjawab permohonanku!," ujarnya semakin keras.

Rasanya pembicaraanku dengan lelaki setengah baya ini mulai terasa tidak menyenangkan. Ada nada-nada sumbang yang menunjukkan mentalnya agak tidak stabil akibat beratnya permasalahan yang ditanggungnya.

Itu bisa ditandai dari setiap aku beri saran jalan keluar permasalahan yang di deritanya, dengan keras dibantahnya dengan alasan usiaku yang jauh dibawah dia membuat dia tidak percaya kepadaku. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku yakin, bahwa apa yang di rumorkan orang-orang sepertinya benar.

Lelaki setengah baya ini memang stress. Setiap hari tampak tekun beribadah, namun ternyata dia menyimpan kemarahan yang sangat kepada Tuhan dan nasibnya. Semakin lama bicaranya semakin melantur dan tidak fokus.

Akupun mulai gelisah sambil mencari-cari cara untuk mengakhiri obrolan kami. Dan untunglah saat itu istriku menelepon menanyakan kenapa sudah larut malam belum pulang juga?. Dengan alasan istri sudah menelepon. Akupun pamit untuk pulang. Aku masih teringat pesannya sebelum kami berpisah.

"Jangan pernah kau biarkan istrimu main fesbukan karena fesbuk itu racun yang sangat mematikan!. Ingat itu!. Kalau kau masih ingin rumah tanggamu utuh!!."

Well... No problemo, senor... Untunglah istriku memang sudah mati rasa dengan fesbuk.


Ghorim / Marbot : orang yang bertugas menjaga dan membersihkan mesjid

Maaf, hanya komentar relevan yang akan ditampilkan. Komentar sampah atau link judi online atau iklan ilegal akan kami blokir/hapus.

Posting Komentar